Jalan Terbuka Pendidikan yang Memerdekakan
Judul Buku | : | PENDIDIKAN YANG MEMERDEKAKAN (Transformasi Ki HadjarDewantara dan Y.B. Mangunwijaya untuk Millenial Baru) |
Penerbit | : | Yayasan Cindelaras Paritrana (cinde books), Yogyakarta |
Tahun cetak | : | Cetakan 1, April 2021 |
ISBN | : | 978-623-96142-0-1 |
Tebal buku | : | xxx + 518 |
Peresensi | : | AGUSTINUS SUNGKALANG, S.S. (Aktivis YKSPK, Pendidik di SMP/SMA Santo Fransiskus Asisi Pontianak) |
Kehadiran buku “Pendidikan yang Memerdekakan” ini patut diapresiasi. Buah pena Dr. Francis Wahono ini adalah satu dari sedikit teks berbahasa Indonesia tentang critical pedagogy yang lazim diindonesiakan menjadi pedagogi kritis atau pendidikan kritis. Ada banyak cara memaknai apa itu pendidikan kritis. Salah satu di antaranya dan yang kurang lebih juga dipakai sebagai perspektif dalam penulisan buku ini adalah pendidikan sebagai proses pembentukan subjek dalam rangka formasi sosial atau pembentukan masyarakat.
Buku ini merupakan kelanjutan dari seri buku ‘Kapitalisme Pendidikan; antara Kompetensi dan Keadilan Sosial’. Kalau dalam buku tersebut, Francis Wahono banyak melontarkan kritik terhadap pendidikan di Indonesia, seraya mengajukan beberapa usulan perbaikan, di mana usulan peningkatan budget untuk pendidikan yang 25% dari APBN sudah diluluskan sampai 20% meskipun dengan penghitungan termasuk gaji guru dan karyawan, maka di buku ini lebih jauh memberikan solusi yang merupakan road map apa itu pendidikan yang memerdekakan rintisan Ki Hadjar Dewantara dan Y.B. Mangunwijaya.
Sebagaimana ditunjukkan oleh Francis Wahono dalam buku ini, Sekolah Rakyat Pancasila sebagai salah satu wujud implementasi visi pendidikan Ki Hadjar Dewantara di era 1950-an, Sekolah Dasar Eksperimental Mangunan Romo Y.B. Mangunwijaya, dan Sekolah “Biasa Saja”Sanggar Anak Alam adalah sebagian contoh praksis pendidikan kritis yang bisa kita temukan di dunia pendidikan tanah air. Dalam rumusannya, sekolah-sekolah itu mengandalkan penerapan metode ‘Induk Ayam’ dalam pembelajaran di mana guru bersikap sebagai pamong yang secara pelan-pelan mendewasakan dan memerdekakan peserta didik di dalam dan melalui kehidupan mereka, bukan mengandalkan metode ‘Anjing’ di hadapan sang tuan di mana secara tidak sadar peserta didik justru dibuat terus tergantung melalui pembelajaran a la bank serba indoktrinatif yang diterapkan oleh guru.
Buku yang ditulis oleh Dr. Francis Wahono ini sangat menarik, bernas, tajam, dan alur logikanya sangat runtut sehingga siapa saja yang ingin membacanya akan merasa menemukan suatu model pendidikan yang memerdekakan setiap manusia. Kita semua tahu, bahwa dua tokoh pendidikan yang menjadi rujukan utama buku ini adalah sosok pribadi yang nyata memperlihatkan sebagai manusia merdeka, meskipun mereka hidup dalam kurun waktu yang berbeda dan suasana politik yang berbeda pula.
Dalam perjalanan bangsa ini, konsep pendidikan yang memerdekakan itulah yang hilang dari praksis pendidikan di bangku sekolah ataupun kuliah; dan kemudian dimunculkan kembali oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim. Terlepas dari apakah konsep ‘Merdeka Belajar’ yang ditawarkan Menteri sama sebangun dengan yang dikonsepsikan oleh Ki Hadjar Dewantara dan Romo Mangunwijaya atau tidak, itu persoalan semantik yang dapat diperbincangkan dalam forum tersendiri. Yang pasti, konsepsi ‘Merdeka’ini kembali hadir dalam praksis pendidikan formal kita, setelah lebih dari setengah abad menghilang.
Di halaman awal buku, Francis Wahono mengkaji konsep pendidikan yang memerdekakan. Dalam perspektif negara, pendidikan mestinya dipandang sebagai investasi jangka panjang, bukan sebagai konsumsi atau sebagai belanja negara. Cara negara memperlakukan pendidikan bukan sebagai investasi wajib publik inilah yang akhirnya menghasilkan pendekatan pendidikan komersial. Negara lepas tangan tanggung jawab atas dalih pendidikan sebagai konsumsi atau pengeluaran, sebagai belanja negara bukan inestasi negara (hlm 3).