PERTEMUAN TUMBANG ANOI 1894, TITIK HITAM DALAM SEJARAH DAYAK


Kedua, kami masyarakat adat Dayak Kalimantan berjanji untuk menjaga nilai-nilai keadilan, keberadaban, kemanusiaan, harkat dan martabat suku Dayak di tengah-tengah pergaulan antar anak bangsa Indonesia, bahkan di tengah-tengah pergaulan internasional.
Ketiga, kami masyarakat adat Dayak Kalimantan berjanji untuk memperoleh posisi bukan sebagai penonton tetapi berperan aktif dalam struktur pemerintah demi membangun NKRI di tingkat nasional dan menjadi pemain utama dalam struktur pemerintahan daerah di tanah Dayak Kalimantan.
Keempat, kami masyarakat adat Dayak Kalimantan berjanji untuk memperoleh posisi dalam kancah politik nasional dan memperoleh posisi utama dan aktif dalam kancah politik daerah di tanah Dayak Kalimantan.
Kelima, kami masyarakat adat Dayak Kalimantan sebagai bagian Bhinneka Tunggal Ika, ahli waris sumber daya alam, warisan leluhur di Kalimantan berjanji unuk memperoleh keadilan dalam hal menguasai wilayah, melestarikan hutan, dan menikmati hasil sumber daya alam yang berlimpah demi mewujudkan kesejahteraan, harkat dan martabat dalam tingkat NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Perjanjian ini dibuat ditandatangani di Tumbang Anoi 4 Oktober 2014 oleh wakil tiga generasi. Perjanjian diketahui oleh Presiden MADN Agustin Teras Narang. ask-5-10-14
Periode Pra Tumbang Anoi
Oleh: Kusni Sulang
Periode Pra Tumbang Anoi bisa disebut juga Periode Kayau-Asang karena periode ini kayau-asang berlangsung marak. Sengit dan berbahayanya (dari segi keamanan) pada masa kayau-asang ini, antara lain dilukiskan oleh contoh-contoh berikut: 1) Mayor Georg Muller, seorang perwira zeni dari tentara Napoleon I, sesudah Waterloo masuk dalam pamongpraja Hindia Belanda. Mewakili pemerintah colonial, ia membuka hubungan resmi dengan sultan-sultan di pesisir timur Borneo. Pada tahun 1825, kendatipun Sultan Kutai enggan membiarkan tentara Belanda memasuki wilayahnya, Muller memudiki Sungai Mahakam dengan belasan serdadu Jawa. Hanya satu serdadu Jawa yang dapat mencapai pesisir barat. Muller sendiri, diperkirakan dibunuh sekitar pertengahan November 1825 di Sungai Bungan, mungkin di jeram Bakang, tempat ia harus membuat sampan guna menghilir Sungai Kapuas. Diduga Muller dibunuh dibunuh oleh suku Aoheng (Bernard Sellato, in: Dr.Anton W. Nieuwenhuis, “Di Pedalaman Borneo. Perjalanan dari Pontianak ke Samarinda 1984’, Gramedia Jakarta, 1994” :xiv-xv). Nasib serupa juga telah menimpa Schwaner di Barito. 2) Ekspedisi pertama Pontianak-Samarinda Dr. A.W. Nieuwenhuis pada 1893-94 harus kembali ke Putussibau pada 22 Juli 1894 karena ‘suku-suku di Mahakam sedang mengadakan berbagai persiapan yang bersifat bermusuhan untuk menyambut mereka”. Padahal ekspedisi pertama ini dikawal oleh 19 serdadu Hindia Belanda (Buku yang sama hlm xvi). 3) Tahun 1885 suku Iban melakukan serangan besar-besaran terhadap Mahakam Hulu dan menghancurkan semua desa Aoheng dan kampung besar Koeng Irang (ibid). 4) Ekspedisi Pontianak-Samarinda Nieuwenhuis baru tuntas pada tahun 1900. Dalam ekspedisi ketiga (1898-1900) Nieuwenhuis, ‘dengan tujuan meneliti cara sarana untuk memperluas pemerintahan Belanda sampai ke wilayah Mahakam Hulu dan Kayan Hulu agar membentuk kedamaian dan keamanan’. Artinya suatu ekspedisi dengan tujuan politik. Ekspedisi Nieuwenhuis hanya bisa berhasil setelah ia dibantu oleh orang-orang Dayak sendiri seperti Suku Kayan dari Mendalam dan kepala mereka, Akam Igau. Diseberang perbatasan dibantu oleh Kwing (atau Koeng) Iran, kepala suku Kayan-Mahakam. ‘Nieuwenhuis tidak akan pernah berhasil dengan ekspedisinya jika tidak dibantu oleh orang Dayak yang tidak menyadari tujuan ekonomi dan politik ekspedisi Nieuwenhuis.
Contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa pemerintah kolonial Belanda untuk kepentingan politik kolonialnya dan penguasaan teritorial sangat berkepentingan dengan berhentinya asang-kayau-bunu antar suku yang kronis. Penelitian multidisipliner Nieuwenhuis paralel dengan yang dilakukan oleh Dr. C. Snouck Hurgronje di Aceh pada masa Perang Aceh 1873-1904. Nieuwenhuis bahkan menyampaikan terima kasih khusus kepada Hurgronje yang telah ‘memeriksa naskah’ laporannya. (Nieuwenhuis, Mei 1898).
Bersamaan dengan agresi fisik berupa serangan militer, melalui para antropolog dan ilmuwan sosialnya, pemerintah Hindia Belanda juga melaksanakan politik desivilisasi. Smythies misalnya suku-suku di Borneo Tengah dicatatnya sebagai suku-suku kafir dan tidak manusiawi karena membunuh budak-budak (hlm.xx). Politik desivilisasi ini disebut politik “ragi usang”, yang memandang bahwa semua budaya Dayak dan yang berbau Dayak harus dimusnahkan sebagaimana halnya perlakuan terhadap ragi usang, ragi yang sudah rusak.
Menurut Bernard Sellato, antropolog Perancis yang melakukan studi tentang Dayak Kalimantan Timur, ‘pendekatan teoritis Nieuwenhuis jelas berbau periode awal antropologi, ketika lingkungan ilmiah masih didominasi oleh evolusionisme. ‘Animisme’ dipandang sebagai tahap primitive pada suatu skala peradaban yang mempunyaiu universal. Baik pendekatan yang didukung oleh aliran sosiologis Durkheim maupun aliran fungsionalis berikutnya tidak begitu dipertimbangkan dalam karya Nieuwenhuis’ (hlm. xxi).
Tentu saja pendekatan teoritis Nieuwenhuis menggunakan pendekatan kolonial yang memandang Tanah Dayak sebagai terra in cognita, dan tugas orang penjajah dibungkus dengan teori misi suci (la mission sacree) , tugas membudayakan orang yang disebut primitif, karena seperti ditunjukkan oleh tugas utama ekpesdisi ketiganya (1898-1900) adalah misi politik. Agaknya para penginjil awal yang datang ke Borneo pun menganut pandangan yang dianut oleh para antropolog awal. Oleh karena itu Orang Dayak memandang mereka ‘sebagai kaki tangan penjajah’ (Prof. Dr. Ahim S. Rusan, et.al, 2006:65). Empat pendeta Eropa yaitu Hofmeisiter dan isteri, Rott, Kind dan Wigand meninggal karena menjadi sasaran mata Mandau dan anak sumpitan. Sedangkan Klamer luput dari pembunuhan karena ditolong oleh Suta Uno Sitinegara (Prof. Dr. Ahim S. Rusan, et.al. 2006: 65).
Kebencian pada penjajah Belanda berkembang menjadi perang. Mei 1859 di Pulau Petak, Kapuas meletus pertempuran dengan Belanda. Kapal perang Belanda Tjipanas tidak bisa digunakan lagi, anak buah kapal terbunuh semuanya. Tahun Perang Tewah meletus 1855 disusul oleh perang di kawasan hulu Katingan, Mentaya , Kahayan dan Barito yang menimbulkan kerugian besar pada serdadu Belanda baik kapal perang mau pun nyawa. Saat itu Belanda baru saja mengakhir Perang Paderi (1821-1839), Perang Diponegoro (1825-1830), Perang Aceh (1873-1904) masih berlangsung.
Dalam keadaan demikian, Belanda mencari akal bagaimana memadamkan api perlawanan dan asang kayau-bunu selekas mungkin dan memperluas penguasaan teritorial sekaligus. Di pihak lain berada di tengah api perang yang berkobar demikian, hasrat bersatu di kalangan Orang Dayak seluruh Borneo makin dirasakan keniscayaannya.
Dari tuturan di atas, nampak bahwa Periode Pra Tumbang Anoi ini ditandai oleh 1) Asang-kayau bunuh antar suku; 2) Perang melawan Belanda; 3) Tapi bersamaan dengan itu, oleh keperluan perang besar yang disertai dengan agresi kdebudayaan berbentuk politik desivilisasi Belanda itu, di kalangan Orang Dayak mulai tumbuh kesadaran untuk bersatu.
Dengan latar belakang demikian, Pertemuan Tumbang Anoi tahun 1894 diselenggarakan, dengan Damang Ribu yang lebih dikenal dengan sebutan Damang Batu sebagai organisator pelaksana. Periode Tumbang Anoi dimulai. Latar belakang musabab penyelenggaraan Pertemuan Tumbang Anoi 1894 dalam buku ‘Sejarah Kalimantan Tengah’ yang ditulis oleh Prof. Ahim S. Rusan, et.al. disebutkan sebagai berikut:
“Untuk mengurusi pemerintahan ( kekuasaannya) di Kalimantan, Belanda mengalami kesulitan karena adanya perlawanan Rakyat Dayak atas kekuasaannya yang dikenal dengan Perang Barito (membela para pengungsi Pegustian Banjar dan berada di tengah masyarakat Dayak pedalaman), Perang Pangkoh Perang Bukit Rawi, Perang Tewah, Perang Mandoun, Perang Kasintu dan Perang Bukit Panya. Di samping adanya perang perlawanan terhadap kekuasaan Belanda, di antara Suku Dayak sendiri pada abad XIX sering timbul perang antar suku, Asang-Kayau-Bunu.”(2006:71).
*Cuplikan dari buku “Refleksi Kritis Untuk Hari Esok: Perlindungan Masyarakat Adat”. Buku ini diterbitkan oleh AMAN Kalteng & Yayaasan TIFA, 2013.
Hebat.
Saya dari suku lundayeh yg pada masa itu satu-satunya suku yg tidak ikut perdamaian tumbang anoi sehingga leluhur kami ditarget & diserang pd 1898 & 1900 di wilayah kubu fegkung libalen😊
Dyak ,daya not belong to any other tribes name in Borneo but refer to the one tribe that identified to be demolish by the Borneo unity tribe soldier that supported by the dutch & inggeris Brooke😊
Saya ingin mengetahui lebih lanjut lagi cerita hal Dayak Iban yang menyerang kayan di Mahakam pada 1885. Siapa ketua mereka. Adakah Iban dari Sarawak masuk campur. Saya Iban Lubok Antu ingin tahu.
Saya keturunan 7 dari Alm Datu Tamanggung Singam …makanya nama saya #Aldy Gt Singam#
Menarik sekali untuk ceritanya …semoga ada Sumber /narasumber selanjutnya yg bisa dan ingat kejadian masa itu