Mozaik Kronik Indonesia 2023


Damang Kalteng Turun Gunung
Forum Damang Kalteng turut menyatakan keprihatinannya melalui video singkat yang disampaikan oleh ketuanya yakni Drs. Kardinal Tarung. Mereka menyatakan prihatin atas kejadian berdarah di Desa Bangkal, wilayah Kab. Seruyan Provinsi Kalteng hingga ada korban meninggal dunia; meminta pihak-pihak yang terlibat tidak melanjutkan tindakan kekerasan; menghormati kelembagaan adat Dayak yang memiliki tugas dan fungsi masing-masing seperti diatur dalam Perda Nomor 16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak Kalteng; dan menyelesaikan masalah dengan menjunjung tinggi filosofi rumah betang dan secara adat Dayak.
“Untuk solusi konflik agraria, apalagi berdimensi kekerasan, prinsip-prinsip keadilan dan HAM mesti ditegakkan. Jika tidak, maka di manapun dan kapanpun, konflik agraria di wilayah Indonesia ini tidak akan pernah dapat diselesaikan karena lingkaran setan kekerasan terus menggurita dan terus menggurita yang hanya akan mengakibatkan penderitaan rakyat yang berkelanjutan, “ imbuh Kardinal Tarung ketika membaca pernyataan Forum Damang Kalteng. (*)
6. Seminar IKN: Meneropong Eksistensi dan Reposisi Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal
Pontianak, KR – Isu nasional menyangkut Kalimantan, yang hingga sekarang masih sering diperdebatkan di berbagai kesempatan, termasuk menjadi topik bahasan dalam kampanye Pilpres 2024 adalah Proyek Strategis Nasional Pemindahan Ibu Kota Nusantara (IKN) ke Kalimantan Timur.

Berikut ini adalah pokok-pokok catatan dari Seminar IKN bertema “Eksistensi dan Reposisi Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal terhadap IKN Nusantara di Kalimantan Timur” yang diselenggarakan Institut Dayakologi pada tanggal 4 September 2023 yang lalu.
Ketika menghantar seminar tersebut, Direktur Institut Dayakologi, Krissusandi Gunui’ mengatakan berbagai pihaknya kerap meminta pandangan Institut Dayakologi tentang Pemindahan Ibu Kota ke Kalimantan, khususnya Kalimantan Timur. “Sejak didirikan pada 1991, Institut Dayakologi memegang mandat melakukan revitalisasi, advokasi dan transformasi kebudayaan Dayak. Oleh karena itu, Institut Dayakologi menganggap bahwa pandangan maupun kajian kritis tentang IKN masih tetap relevan, meskipun saat ini para pengembang terus melakukan percepatan pembangunan infrastrukturnya,” ujar Gunui’.
Salah satu tujuan seminar adalah untuk mendapatkan gambaran mengenai kondisi Masyarakat Adat dan masyarakat lokal yang rentan terdampak Proyek IKN di Kalimantan Timur.
Di samping itu, tujuan penting lainnya adalah untuk mengetahui bagaimana Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal di zona pembagunan IKN diposisikan di dalam proyek IKN tersebut bersama kebijakannya yang terkait.

1. Pemindahan IKN ke Kaltim menguak sejarah sekaligus meningkatkan skala marjinalisasi masyarakat lokal. Sejarah panjang marjinalisasi masyarakat lokal telah berlangsung pada era booming industri kayu pada 1960-an, kemudian disusul transmigrasi tahun 1970-an, tambang tahun 1980-an, dan sawit di tahun 1990-an, dan pemindahan IKN pada 2020 ke Kab. PPU (Penajam Paser Utara) dan Kutai Kertanegara.
2. IKN hingga tahap pembangunannya saat ini masih tak luput dari pertanyaan kritis, khususnya terkait bagaimana hak-hak ekosob dan sipol masyarakat lokal diposisikan dan dipenuhi dengan seadil-adilnya. Pengambilalihan tanah dan lahan untuk lokasi IKN (zona primer, sekunder maupun tersier) menambah proses marjinalisasi terhadap masyarakat lokal.
3. Identifikasi dan verifikasi identitas Masyarakat Adat /masyarakat lokal di IKN perlu segera dilakukan untuk memperjelas subjek hukum terkait hak atas tanah dan sumber daya alam di daerah tersebut. Hal itu penting untuk mengetahui sejarah asal usul mereka terkait hak atas tanah dan sumber daya alam di daerah tersebut.
4. Selain kejelasan subjek hukum tersebut juga relevan sekali upaya-upaya penyadaran kritis, pemberdayaan dan penguatan di tingkat komunitas secara langsung.
5. Memaksimalkan peluang revisi UU IKN sehingga memastikan keberpihakan substansinya pada hak-hak Masyarakat Lokal khususnya dan masyarakat kalimantan pada umumnya.
Dihadiri Komisioner Komnas HAM
Seminar IKN menghadirkan beberapa tokoh, yakni (1) John Bamba (Tokoh Kebudayaan Kalbar – Ketua Gerakan Pemberdayaan Pancur Kasih – Pendiri Institut Dayakologi) sebagai Keynote Speaker: Tema yang disampaikan adalah Masyarakat Adat & Posisinya terhadap IKN; (2) Krissusandi Gunui’ (Direktur Eksekutif Institut Dayakologi): Eksistensi dan Tantangan Kebudayaan Dayak di Era IKN; (3) Saurlin P. Siagian, S.Sos., M.A. (Komisioner Komnas HAM): Tinjauan Atas Kondisi Objektif Factual Hak-Hak Komunitas Masyarakat Adat & Komunitas Lokal Atas Hutan dan Tanah di Wilayah IKN; (4) Dahniar Andriani(Ketua Badan Pengurus HUMA Jakarta): Posisi Negara dalam Melindungi Komunitas Masyarakat Adat & Komunitas Lokal di IKN, dan (5) Drs. Martinus Nanang, M.A (Antropolog Fisip Univ. Mulawarman, Samarinda – Kaltim): Rancangan Strategi Adaptasi Berbasis Kearifan Local bagi Komunitas Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal dalam Merespon Tantangan IKN. (*)
7. Bedah Buku Biografi Dokter Rubini Pahlawan Nasional di Gawai Sejarah I IKIP PGRI Pontianak
Pontianak, KR – Gawai Sejarah Prodi Pendidikan Sejarah FIPPS IKIP PGRI Pontianak diwarnai dengan Bedah Buku dr. Rubini Pahlawan Nasional Indonesia. Acara tersebut dihelat pada Senin (11/12/2023), menghadirkan Pengurus Kowani Pusat, Ibu Erlina dan penulis biografi Dokter Rubini Pahlawan Nasional yakni Muhammad Rikas, M.Pd, sejarawan Untan yang juga Sekretaris Masyarakat Sejarah Indonesia.

Dalam kesempatan tersebut, Muhammad Firdaus, Rektor IKIP PGRI Pontianak mengatakan jika pihaknya merupakan satu-satunya dari Kalbar yang merekomendasikan dr. Rubini sebagai Pahlawan Nasional. Dokter Rubini adalah salah satu tokoh Kalbar yang menjadi korban peristiwa pembantaian rakyat Kalbar oleh penjajah Jepang di Mandor, tanggal 28 Juni 1944.
“Sosok Dokter Rubini patut dicontoh. Selain seorang dokter aktif, dia juga aktif mendorong istrinya untuk mengikuti kegiatan Persatuan Istri Indonesia Pontianak yang menjadi nama awal dari Kowani,” ujar Firdaus.
Dokter Raden Rubini Natawisastra lahir tanggal 31 Agustus 1906, di Sunda, Jawa Barat. Tidak tanggung-tanggung, ia melayani pengobatan penuh kasih kepada semua pasiennya mulai dari Kota Pontianak dan daerah-daerah sekitar Pontianak, Sungai Ambawang, Sungai Kakap, hingga Mempawah dan daerah pedalaman. Ia adalah seorang dokter militer dari Jawa Barat yang menjalankan misi kemanusiaan di Kalimantan Barat pada zaman penjajahan.

Presiden Jokowi telah menetapkan dr. Rubini sebagai Pahlawan Nasional yang dibacakan (diumumkan resmi) pada tanggal 7 November 2022 yang lalu. Jasa dan pengorbanannya sebagai dokter keliling pada masa penjajahan, melayani masyarakat di daerah pedalaman dan terpencil di Kalimantan Barat selama 17 tahun, maka dr. Rubini adalah sosok yang pantas mendapatkan anugerah dengan gelar Pahlawan Nasional.
Anugerah gelar Pahlawan Nasional tersebut tertuang dalam Surat Keputusan Presiden Joko Widodo, Nomor 96/TK/Tahun 2022 yang ditetapkan pada tanggal 3 November 2022. Semoga semangat pengorbanan dan karya dr. Raden Rubini Natawisastra dapat menginspirasi dan menjadi tauladan dalam kesetiaan, pengabdian dan pengorbanan demi kemanusiaan bagi generasi muda Indonesia, khususnya lagi para mahasiswa. (*)
8. Syarat Menjadi ‘Tukang Pomang’ pada Masyarakat Adat Dayak Sisang
Segumon, KR – Sejumlah warga Kampung Segumon, Desa Lubuk Sabuk, Kec. Sekayam Kab. Sanggau baru-baru ini berkumpul bersama membahas syarat menjadi ‘Tukang Pomang’.
Ini adalah satu dari beberapa materi Sekolah Pemberdayaan Masyarakat Adat Dayakologi atau SPMAD, yang dihelat Institut Dayakologi sejak 3 tahun belakangan.

Oktavianus, PO Divisi Advokasi dan Transformasi Kebudayaan Dayak ID mengatakan, topik untuk sesi tersebut pada dasarnya merupakan pengembangan dari materi Kepemimpinan Masyarakat Adat. “Sejak beberapa tahun lalu, kita telah melakukan kontekstualisasi modul SPMAD. sesi ini disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi di komunitas,” ujarnya.
Dalam sesi SPMAD kali ini, peserta terdiri dari perempuan maupun laki-laki, beberapa anak muda, Ketua Adat Segumon, dan beberapa ‘Rebayu’ (asisten ‘Tukang Pomang’ Dayak Sisang).

Dalam kepemimpinan Masyarakat Adat, para pemimpin ritual seperti ‘Tukang Pomang’, termasuk para ‘Rebayu’ memiliki peran sentral dan fungsi yang penting. Sebelum sebuah acara dimulai, biasanya, seturut tradisi setempat, upacara adat harus dilakukan terlebih dahulu. Di sinilah peran penting ‘Tukang Pomang’ dan ‘Rebayu’.
Para ‘Tukang Pomang’ dan ‘Rebayu’ adalah pemimpin ritual spiritual adat, ‘penjaga’ atau pewaris pengetahuan lokal. ‘Bahasa Arkais’ yang digunakan dalam mantra-mantra ‘Para Tukang Pomang’ mengisahkan tentang suatu perjalanan, hubungan manusia dengan alam (nama-nama tempat atau daerah yang penting), hubungan antar-manusia, hubungan dengan leluhur, dan tentang permohonan-permohonan kepada Sang Pencipta.
Meskipun demikian, banyak pihak kadangkala menyederhanakan pemahaman tentang kepemimpinan adat dari ‘Para Tukang Pomang’.

Hal tersebut misalnya sering kita dengar bahwa hanya orang-orang yang memiliki posisi jabatan di kelembagaan adat sajalah yang digolongkan masuk dalam kepemimpinan masyarakat adat.
Menurut Kriss Gunui, Direktur Eksekutif Institut Dayakologi, simplifikasi pemahaman seperti itulah yang banyak ditemukan di masyarakat pada umumnya. Hal tersebut mengurangi pemahaman masyarakat terhadap peran sentral ‘Tukang Pomang’. “Fenomena ini tak boleh dibiarkan begitu saja. Sesi SPMAD kali ini, salah satunya adalah untuk menjawab fenomena ini, ” kata Gunui’.
Syarat
Diskusi dan pembahasan bersama sampai pada kesimpulan mengenai syarat menjadi ‘Tukang Pomang’ di Masyarakat Adat Dayak Sisang, Ketemenggungan Sisang, Kampung Segumon, Desa Lubuk Sabuk, Kecamatan Sekayam, Kabupaten Sanggau sebagai berikut:
1) Punya sifat kepemimpinan yang kuat,
2) Mampu menjalankan kewajiban berpantang,
3) Mengetahui, paham dan menguasai seluk beluk keseluruhan bahan atau kelengkapan upacara adat,
4) Dipercaya dan dihormati oleh warga Masyarakat Adat setempat, apalagi oleh ‘para Rebayu’,
5) Terpanggil atau ‘terpilih’ untuk menjalani peran sebagai ‘Tukang Pomang’. Jadi bukan sekadar mau melaksanakan tugasnya sebagai ‘Tukang Pomang’,
6) Pantang meminta ‘Pengkaras’ lebih dari satu kali,
7) Berintegritas, memiliki ketaatan pada adat istiadat, tata krama dan hukum adat.
Ketua Masyarakat Hukum Adat Ketemenggungan Sisang, Kampung Segumon, Darius, mengapresiasi kegiatan SPMAD yang dilaksanakan di sekretariat bersama Tampun Juah itu.
“Saya senang dan berterima kasih kepada panitia yang mengundang saya selaku Ketua Adat Segumon untuk mengikuti kegiatan ini. Setidaknya, dalam diskusi di kelompok, warga yang mengikuti kegiatan ini semakin paham tentang syarat dan peran ‘Tukang Pomang’ sebagai pemimpin ritual di Masyarakat Adat Dayak Sisang, “pungkas Darius, yang juga anggota ‘Pentarut’ (satuan penjaga tanah air dan hutan) wilayah adat dan hutan adat Tembawang Tampun Juah ini.
SPMAD yang pada penghujung bulan di tahun 2023 ini juga dilakukan bersama dengan komunitas adat Dayak D’sa di Tapang Sambas Tapang Semadak, Kec. Sekadau Hulu Kab. Sekadau. Sesi kepemimpinan Masyarakat Adat juga dilaksanakan bersama warga adat Ketemenggungan Tae, khususnya di Semangkar, Desa Tae, Kec. Batang Tarang, Kab. Sanggau.
Di tengah pengaruh globalisasi seperti sekarang ini, keberadaan para “Tukang Pomang” khususnya, dan seluruh pemimpin Masyarakat Adat umumnya mesti diperkuat sehingga masih mempunyai tempat di masyarakat sesuai tugas, dan perannya masing-masing. Lebih dari itu, peran para “Tukang Pomang” sejatinya adalah pelaku dan pewaris pengetahuan budaya lokal. (*)