Catatan Akhir Tahun 2021 AMAN KALTENG
Ferdi Kurnianto, Ketua AMAN Wilayah Kalimantan Tengah: Tantangan Advokasi Hak Masyarakat Adat Justru Ada di Pemerintah Daerahnya. Kita Sudah Menyentuh pada Oligarki
Penulis & Foto: Rokhmond Onasis.
Editor: Giring.
Perjuangan Masyarakat Adat di wilayah Kalimantan Tengah terus berjalan. Inilah narasi tentang kelompok rentan sekaligus kelompok yang tak ingin ditaklukkan—yang berusaha, berjuang membebaskan dan memberdayakan diri dan kelompoknya. Yang bertujuan menegakkan kedaulatan atas wilayah, ruang-ruang dan sumber penghidupan dan kehidupan holistiknya. Pengalaman gerakan advokasi Masyarakat Adat dari Kalteng ini merupakan potret kecil dari pengalaman banyak Masyarakat Adat di berbagai daerah di Kalimantan dan Nusantara yang menghadapi tantangan yang tak boleh disepelekan.
Faktor eksternal dan internal Masyarakat Adat turut mewarnai gerakan dan kondisi Masyarakat Adat itu sendiri. Kalimantan Review (KR), melalui kontributornya di Palangka Raya, Rokhmond Onasis sempat berbincang dengan Ferdi Kurnianto, Ketua AMAN Wilayah Kalimantan Tengah periode 2019-2022. Advokasi hak-hak Masyarakat Adat memang tidak mudah ketika sempat terhenti di persimpangan jalan. Pilihan ada di antara melanjutkan perjuangan atau putar balik arah dari jalan yang sudah ditempuh.
Ditemui di sekretariat AMAN Kalteng, Jalan Beliang, Palangka Raya pada Kamis (30/12), Ferdy menyambut KR dengan rambut panjangnya yang masih terurai. Ia menandaskan bahwa penguatan dari dalam Masyarakat Adat itu sendiri menjadi legal standing yang kuat dibandingkan pengakuan dari luar. Secara de facto, Masyarakat Adat lebih kuat saat melangkah ke perjuangan ke tahap litigasi dan seterusnya. Yang paling utama adalah adanya pengakuan diri sebagai penyandang entitas Masyarakat Adat.
Hal lain terkait Food estate, Ferdi mengkritisi dan memberikan gagasan solusi. Menurutnya, seharusnya pemerintah memandang proyek food estate ini sebagai kedaulatan pangan, bukan sebagai ketahanan pangan.
AMAN melihatnya sebagai kedaulatan pangan karena berbicara tentang kedaulatan pangan berarti berbicara mengenai apa yang menjadi kebutuhan keluarga, kondisi harga dan masyarakat itu sendiri. Bukan melihatnya lebih sebagai kebutuhan komersial untuk masyarakat,” paparnya. Berikut nukilan perbincangan KR dengan Ketua AMAN Wilayah Kalimantan Tengah Periode 2019-2022 ini.
KR: Perjalanan AMAN Kalteng di tahun 2021 penuh dengan tantangan, apa tantangan itu dan bagaimana proses mengatasinya?
Ferdi Kurnianto (FK): Pada bulan Januari 2021, kami melakukan gugatan hukum, tepatnya gugatan hukum PTUN dari Masyarakat Adat Laman Kinipan terhadap Bupati Lamandau. Langkah ini diambil karena pada saat itu tidak ada kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah kabupaten terkait amanat Permendagri 52 tahun 2014 tentang pembentukan panitia Masyarakat Hukum Adat. Kita memilih lokus Kinipan karena di sana ada konflik dan ada perjuangan. Sebelumnya kami sudah mengecek bahwa di Kabupaten Lamandau tidak ada SK pembentukan panitia Masyarakat Hukum Adat. SK itu tidak kami temukan. Anehnya, pada saat proses sidang gugatan berlangsung, SK tersebut dimunculkan. SK itu ditandatangani tanggal 1 Desember 2020. Kami menduga SK ini dibuat dengan tanggal mundur hanya demi menjawab tuntutan sidang perkara gugatan ini. Namun bagi kami, bukan soal menang atau kalah. SK Panitia Masyarakat Hukum Adat memang harus ada untuk memperlancar proses advokasi Kinipan selanjutnya. Walaupun dari hasil sidang PTUN (pertama), gugatan kami ditolak karena apa yang digugat ternyata sudah ada SK nya. Kalau dicermati secara detail lagi, SK yang ditandatangani oleh Bupati Lamandau tersebut sangat janggal. Contoh, ada dicantumkan PD AMAN Lamandau di keanggotaan panitianya, padahal dalam proses pembentukannya tidak ada dilibatkan.
KR: Apakah memang benar ada AMAN yang dicantumkan di dalam SK tersebut setelah dikonfirmasi?
FK: Kalau pengurus PD AMAN Lamandau tidak ada. Tapi, ada untungnya juga ketika SK-nya dimasukkan, kita melanjutkan proses gugatan tahap 2. Sebelumnya tahap pertama ditolak karena berkas tidak lengkap. Jadi, kami melengkapinya. Hal lainnya, masalah Perda Pengakuan Masyarakat Adat baik tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota. Di tingkat provinsi sudah lama belum ada tindak lanjut. Perda provinsi ini tidak jelas bahkan di penghujung 2021 ini semakin tenggelam. Sekarang malah dibuat Perda kabupaten. Banyak pihak terlibat dalam pembuatan Perda kabupaten/kota ini. Dari beberapa pertemuan yang pernah saya ikuti, kesannya hanya sampai sebatas penyusunan dokumen. Informasi dari tim penyusun Perda ini mengakui kalau tugas mereka hanya sampai menyusun Perda saja. Kemudian jika sudah selesai diserahkan ke pihak eksekutif. Karena tugas eksekutif yang menyerahkan ke legislatif. Belajar dari pengalaman Perda provinsi yang sudah diajukan ke legislatif, yang dikawal dan didorong pun tidak ada hasilnya. Apalagi jika hanya sampai selesai di pihak eksekutif saja. Tantangan utamanya adalah pembahasan di tingkat legislatif. Pertama, mau tidak Perda ditetapkan. Kedua, seandainya ditetapkan pun, jika tidak dikawal akan banyak perubahan substansi, yang mungkin tidak sesuai dengan konteks dan harapan Masyarakat Adat. Pengalaman kita dulu ketika Perda provinsi kita ikut mengawalnya, beberapa kali proses yang ada di DPRD sampai sekarang ini malah semakin tidak jelas. Tahun 2021, kita juga mengalami banjir. Merespon pernyataan Pemprov. Kalteng, bahwa banjir sudah hal biasa. Kami menilai, pemerintah provinsi dalam hal ini Pemprov. tidak melihat banjir sebagai masalah atau musibah. Hanya dianggap sebuah kebiasaan saja. Pemrov Kalteng tidak menilik sebab akibat masalah banjir itu dan hanya melihatnya sebagai rutinitas kejadian saja. Bukan sebagai musibah. Pernyataannya sangat mengecewakan.
KR: Perjuangan AMAN Kalteng di Tahun 2022?
FK: Di tahun 2022 masih fokus mengawal advokasi Kinipan. Tantangan advokasi hak Masyarakat Adat justru ada pada pemerintah daerahnya. Istilahnya kita sudah menyentuh pada oligarki. Ini menjadi lebih susah. Beda ketika ada konflik melibatkan masyarakat adat dengan korporasi. Tidak ada kepentingan pemerintah daerahnya, mungkin pemerintah harus netral. Tapi, dalam konteks Kinipan, pemerintah lebih berat mendukung korporasi.