Menyoal Sejarah Lokal dalam Media (Sosial) DISBUDPAR Provinsi Kalimantan Tengah


Di antara 31 pendidikan tinggi di Kalteng hanya Universitas PGRI yang memiliki Prodi Sejarah; Jurusaan Antropologi tidak ada; Riset tentang kebudayaan lokal sangat minim. Akibatnya Dayak asing terhadap diri sendiri. Padahal “Sejarah adalah panduan navigasi di masa-masa sulit. Sejarah (memberi tahu) siapa kita dan mengapa kita seperti ini” (David McCullough).
- Masalah berikutnya adalah membuat Dayak Kalteng sebagai etnik tanpa sejarah = etnik primitif. Ada klaim peristiwa sejarah, seperti Perang Barito; Dambung Mangkurap; Pang Palui. Menurut George Orwell,“Cara paling efektif untuk menghancurkan orang adalah dengan menyangkal dan melenyapkan pemahaman mereka sendiri tentang sejarah mereka.”
Menulis Sejarah Siapa?
“Sejarah ditulis oleh para pemenang,” kata Winston Churchill. Oleh karena itu, sejarah adalah sejarah pemenang dalam suatu pergulatan, terutama politik. Pandangan Churchil ini banyak dianut orang, termasuk di Indonesia.
Moh. Arkoun pernah mengatakan, “Ada dua macam penulisan sejarah. Pertama sejarah politis; Kedua, sejarah ilmiah, yang mengatakan hitam pada yang hitam, mengatakan putih pada yang putih. Di Indonesia yang dominan adalah karya sejarah politis.
Karena itu di kalangan sejarawan negeri ini muncul saran agar dilakukan yang mereka sebut ‘pelurusan sejarah’, sebagaimana pengalaman Lola Amaria, sutradara film Eksil.
Pertanyaannya adalah Sejarah jenis mana yang akan dan mau diangkat sebagai konten media (sosial)?Diskusi ini bertujuan meningkatkan kompetensi para kreator konten agar mampu menyajikan informasi sejarah.
Kompetensi adalah satu soal, informasi sebagai konten adalah hal lain lagi. Bisa terjadi makin canggih tekhnis atau cara penyampaian informasi makin gampang diserap oleh audiences. Dengan kecanggihan secara teknis, kalau informasi sejarah yang disampaikan ‘salah’ maka rumput beracun yang ia sebarkan makin berdampak merusak.
Sehingga di sini pertanyaannya: Untuk apa, untuk siapa dan bagaimana suatu karya diciptakan melalui media (sosial)? Apalagi jika kita sepakat bahwa sejarah, apalagi sejarah politis, merupakan arena pertarungan sengit antara berbagai kepentingan politik sebagai cerminan dari segala kepentingan, terutama kepentingan ekonomi.
Barangkali jawaban atas pertanyaan ini terletak pada orientasi filsafat politik sang kreator. Untuk Indonesia, saya kira, orientasi filosofi politik itu adalah nilai-nilai yang dirumuskan dalam Pancasila atau yang sering juga saya sebut sebagai rangkaian nilai Republikan dan Berkeindonesiaan.
Sejarah Indonesia dan Sejarah Lokal
Ketika berbicara tentang pembangunan Indonesia, Presiden Jokowi menyebutnya ‘terlalu lama Jawa-Sentris’. Jawa-Sentris ini kiranya bukan hanya berlangsung dalam bidang pembangunan fisik, tetapi juga dalam sejarah Indonesia.
Untuk waktu lama, buku-buku sejarah Indonesia, terutama diisi oleh muatan sejarah di Jawa, terutama raja-raja Jawa. Keadaan ini oleh Tiyel Djelau, ketika menjadi Kepala Jawatan Penerangan Kalteng, pernah dikemukakan kepada Menteri Penerangan. Dijawab: “Salah kalian sendiri. Mengapa kalian tidak menulis sejarah lokal kalian sendiri.’ Jawaban yang membuat si penanya terdiam.
Secara umum, barisan penulis, bukan hanya penulis sejarah, di Kalteng memang sangat lemah dan kurang. Budaya lisan masih sangat dominan sampai sekarang.
Kalau mau adanya sejarah nasional yang tidak Jawa-Sentris, seyogyanya daerah-daerah menulis sejarah daerah masing-masing yang kemudian jadi bahan bagi menyusun sejarah nasional yang relatif padan. Penulisan itu dimulai dari menulis sejarah desa, untuk bisa menyusun sejarah kelurahan yang kemudian dikembangkan dengan penulisan sejarah kecamatan, berlanjut ke penulisan sejarah kabupaten, kemudian sejarah provinsi.
Sejarah provinsi-provinsi ini selanjutnya menjadi bahan dalam menyusun sejarah nasional. Tentu saja, yang saya maksudkan dengan sejarah di sini bukan hanya sejarah politik, tapi meliputi sejarah berbagai bidang seperti hutan, sungai, ekonomi, budaya, transportasi (misal: Jalan Koeli, Jalan Kereta Api di Sampit, Sumur Mas, berkurangnya peran sungai sebagai media transportasi), pertambangan, perkebunan, kota, masuknya agama-agama monotheisme di Tanah Dayak, sejarah Kaharingan, sejarah Dayak Besar, sejarah perkembangan masyarakat Dayak, sejarah pemerintahan desa Dayak, sejarah kelembagaan adat Dayak, dll, dsb….
Karena itu dalam Sakula Budaya yang kami lakukan mulai dari daerah perdesaan, sejarah desa dan cerita-cerita rakyat setempat merupakan mata kurikulum utama. Sedangkan cerita-cerita rakyat perlu juga diangkat karena cerita-cerita ini bisa menjadi pintu masuk ke sejarah yang diangkat sebagai tema cerita rakyat itu.
Baca juga: https://kalimantanreview.com/bayang-bayang-ibu-kota-di-kalimantan/
Materi Tidak Kurang, Tapi Minim Diketahui
Di media-media sosial memang terdapat hal-hal kesejarahan Dayak Kalteng yang telah diangkat, tapi baik dari segi jumlah atau pun kualitas barangkali masih jauh dari memadai. Sehingga bisa dikatakan masalah sejarah Dayak Kalteng dan Kalteng sesungguhnya belum tergarap dengan baik, apalagi secara profesional.
Di Kalimantan Barat masalah kesejarahan lokal ini sejak lebih dari 30 tahun mulai dan terus dilakukan oleh Institut Dayakologi, kemudian disusul penanganannya oleh situs sejarah Riwajat –- hal yang belum terdapat di Kalteng.
Perhatian terhadap masalah sejarah di Kalteng nampak memperlihatkan geliatnya pada masa Pemerintahan Jokowi melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi pernah menyelenggarakan lomba menulis sejarah untuk tingkat SMA dan Universitas; AGSI berdiri di Kalteng, kemudian adanya kegiatan hari ini.
Tapi dilihat dari persoalan penulisan sejarah secara keseluruhan semua hal di atas baru merupakan ayunan langkah pertama di ruas jalan yang sangat sangat panjang. “Kerja belum selesai/belum apa-apa/” jika meminjam kata-kata penyair Chairil Anwar.
Mungkin terdengar ekstrim, tapi saya kira saya tidak jauh dari kenyataan, bahwa penulisan sejarah dan info tentang sejarah di Provinsi ini sebenarnya masih berada di titik nol. Masih sedang melakukan ancang-ancang, apalagi jika dibadingkan dengan jumlah masalah kesejarahan yang patut ditangani.
Sedikit contoh adakah tulisan berarti tentang G.Obos, Mahir Mahar, Sarikat Dajak, Pakat Dajak, Sahari Andung, Edward Kamis, Tiyel Djelau, Peter Sawong, Kapten Mulyono, Sahari Andong, Lasjkar Perempuan Dajak, Bukit Tangkiling, Tambun-Bungai, berbagai pertempuran di Kalteng, sejarah Kalteng yang relatif padan, Christian Simbar, Gunung Mas sebagai bastion gerakan perlawanan terhadap penjajahan Belanda, sejarah baputan, sejarah Banama Tingang, Nan-Sarunai, dll… ? Boleh dikatakan tidak ada.
Untuk memperoleh konten media (sosial) kita tidak perlu pergi jauh-jauh. Nama-nama jalan di Palangka Raya saja, dari segi sejarah sudah bisa berbicara banyak. Sampai hari ini saya masih belum melihat ada upaya melakukannya.
Dengan posisi berada di titik nol, jika mau membuat konten tentang sejarah Kalteng, jalan utama yang kiranya niscaya dilakukan adalah riset dan riset. Apa yang mau diinfokan dan dikemaskan di media (sosial) jika bahan-bahan untuk konten media (sosial) itu tidak dimiliki.
Setelah itu hasil riset ditulis dan diterbitkan salah satu cara agar sejarah tersebut menjadi pengetahuan umum. Riset, penulisan dan penerbitan ini seyogyanya dilakukan secara sistematik dan terencana.
Baca juga: https://kalimantanreview.com/pertemuan-tumbang-anoi-1894-titik-hitam-dalam-sejarah-dayak/
Untuk riset, penulisan dan penerbitan terencana, tentu akan sangat berarti jika dalam bidang inipun ‘Negara hadir’. Kesulitan lain yang dihadapi di daerah ini adalah lemahnya barisan penulis. Penulis berpengalaman berupaya membangun barisan penulis di Kalteng selama setahun secara gratisdengan menyelenggarakan lomba menulis cerpen berhadiah, sisanya: Nihil.
Berharap semua peserta kegiatan ini akan lanjut berkarya tidak seperti yang kami alami, kerja setahun lebih secara gratis, yang terus menulis dan berkarya kurang dari jumlah jari sebelah tangan.
Penafsiran Sejarah
Di Palangka Raya, saya pernah beberapa kali menonton Sendra-Tari yang mengangkat tokoh-tokoh dalam sejarah Dayak Kalteng, seperti Tambun-Bungai, Nyai Bahandang Balau, Mihing Manasa.
Setelah melihat pertunjukan-pertunjukan itu, pertanyaan utama muncul pada diri saya karena saya menyaksikan bahwa tokoh-tokoh yang diangkat dan dipandang sebagai pahlawan, kepahlawanan mereka seperti identik dengan orang haus darah. Pertunjukan-pertunjukan itu tercium amis bau darah.
Apakah Dayak itu memang orang-orang haus darah? Saya kira tidak. Contoh ‘upacara mamapas léwu’,’sumpah manéték uei’ (sumpah memotong rotan). Secara konten, drama-drama yang dipertunjukkan itu jauh dari pandangan dan sikap yang tertuang dalam filosofi Dayak Kalteng.
Soal inilah yang saya maksudkan dengan perlu orientasi filosofi politik yang tepat ketika mengemas tema sejarah dalam karya. Keliru menafsirkan sejarah sama dengan menabur racun dalam pemikiran masyarakat. Sama berbahayanya dengan menggunakan eksotisme Dayak untuk mendapatkan popularitas tapi mengabaikan kebenaran.
Penulisaan sejarah atau mengangkat tema sejarah dalam karya bukan untuk menjadi tersohor tapi yang utama ‘memburu dan mengangkat kebenaran’ untuk kepentingan hidup hari ini.
Kerja Sama Mengemas Sejarah
Untuk riset, penulisan dan penerbitan diperlukan dana. Beberapa tahun lalu, TVRI Kalteng di bawah pimpinan Borju Daeng, bekerja sama dengan para pekerja budaya di Palangka Raya membuat film dokumenter pendek tentang para pelaku sejarah.
Film dokumenter pendek tentang sejarah yang telah dibuat, antara lain tentang penerjun payung pertama di masa Perang Kemerdekaan, Emanuel Nuhan; tentang T.T, Suan, wartawan senior Kalteng, pembantu dekat Tjilik Riwut semasa menjadi Gubernur Kalteng (1957-1967). Lalu film cerita, Gerilyawan-Gerilyan Cili, bertema sejarah tentang perjuangan para gerilyawan di Katingan. Program ini tidak berlanjut setelah Daeng Borju diganti.
Dari apa yang dilakukan oleh Daeng Borju di atas, nampak bahwa kerja sama berbagai pihak bisa dijadikan salah satu cara mengatasi kesulitan finansial dalam menangani masalah pencatatan dan atau pendokumentasian sejarah di provinsi ini, apabila kita memang menghayati bahwa penulisan dan pengetahuan tentang sejarah merupakan hal penting.
“Jika kamu ingin memahami hari ini, kamu harus mencari kemarin” (Pearl Buck), sejalan dengan kata-kata David McCullough, “Sejarah mengatakan siapa kita dan mengapa kita seperti ini.”
Pertanyaan dan Saran
Medsos dan kontennya tidak bersifat in-depth. Target apa yang mau dicapai dengan memilih tema ini untuk kegiatan? Terima kasih atas perhatian dan dorongan Kementerian untuk memajukan penulisan sejarah dan menarik perhatian pada sejarah di provinsi ini: isyarat Negara mau sehadir. Berikut saran saya:
1. Gencarkan kegiatan riset, penulisan dan penerbitan sejarah lokal (Kalteng) hal yang sampai sekarang sangat minim dilakukan.
2. Karena kegiatan riset, penulisan dan penerbitan sejarah memerlukan biaya, Negara seyogyanya hadir;
3. Membuat film-film pendek atau pun karya-karya lain dalam berbagai bentuk tentang sejarah tentang sejarah seperti yang pernah dilakukan oleh TVRI Kalteng pada masa kepemimpinan Daeng Borju;
4. Peningkatan kemampuan tekhnis baik dalam hal membuat video siniar, maupun film-film dokumenter atau pun karya-karya lain dalam berbagai bentuk tentang sejarah; 5. Memasang prasasti pada tiap tempat menjelaskan sejarah singkat lokasi tersebut.[]