APA KATA PARA PIHAK PADA TALKSHOW PEMAJUAN KEBUDAYAAN KOMUNITAS ADAT LINGKAR TIONG KANDANG, KETEMENGGUNGAN TAE?
Penulis: Siba & Giring | Foto: Yerimias | Editor: Giring
Tae, Balai Batang Tarang, KR—Sarasehan, Talkshow dan Dialog Pemajuan Kebudayaan Komunitas Adat Tiong Kandang pada Rabu-Kamis (24-25/11) dipusatkan di Ketemenggungan Tae, Desa Tae, Kecamatan Balai, Kab. Sanggau. Pembukaannya dan talkshow pada hari pertama dihadiri sekitar 300-an peseta, termasuk warga masyarakat dari 9 desa di lingkar Tiong Kandang.
Berikut ini dipaparkan secara singkat hal-hal penting yang disampaikan oleh para pihak dalam talkshow yang dimoderatori Dr. Julianis Limbeng dalam rangkaian perhelatan kebudayaan komunitas adat lingkar Tiong Kandang itu.
Pandu Budaya, Festival Budaya, Sanggar dan Peraturan Daerah
Syamsul Hadi, S.H., M.M, Direktur Kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa dan Masyarakat Adat (KMA) KEMENDIKBUD, Riset dan Teknologi, dalam talkshow mengatakan Tiong Kandang adalah simbol bagi eksistensi dan resistensi spiritual adat MA Lingkar Tiong Kandang. “Kami dari Direktorat KMA mendorong pemuda adat untuk melakukan apa yang kami sebut sekolah lapang dalam rangka temu kenali potensi objek pemajuan kebudayaan di wilayah adatnya. Agar tak hanya ada dalam bentuk lisan, tapi bisa didokumentasikan dalam buku. Melalui objek pemajukan kebudayaan bisa menjadi gerakan bersama untuk mewujudkan desa dengan kekuatan adat budayanya. Harap tahun depan ada festival budaya lingkar Tiong Kandang. Mohon dukungan semua khususnya Pemda Sanggau dan OPD terkait. Ini program afirmasi karena pengakuan Masyarakat Adat sebagai subjek pembangunan,” ujar Direktur KMA itu. Pak Syamsul juga menyampaikan jaminan konstitusi dan UU yang mendukung pelestarian, perlindungan dan pemajuan kebudayaan yaitu UUD 1945 Pasal 32 (Ayat 1), dan UU No. 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
Berkaitan dengandesa adat, Sri Wahyu Febrianti Firman, Direktur Penataan dan Administrasi Pemerintah Desa, Ditjen Bina Pemerintahan Desa, KEMENDAGRI, mengatakan bahwa peluang desa adat telah disediakan UU 6/2014 tentang Desa. Namun dia tidak menampik bahwa proses menuju desa adat bukanlah mudah untuk dilakukan. Terlebih di masa lalu, dampak UU No. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa telah merusak tatanan kelembagaan pemerintahan adat yang berdampak pada hancurnya nilai-nilai luhur budaya lokal. “Sejak disahkan, belum ada satu pun desa adat yang ditetapkan meskipun saat ini sejumlah desa di berbagai daerah sedang mempersiapkan langkah-langkah menuju desa adat. Proses bertransformasi ke desa adat dijamin UU No. 6/2014 tentang Desa. Prosesnya memang butuh waktu dan mesti menempuh berbagai langkah teknis administratif. Kita (KEMENDAGRI: Red) menyadari bahwa di masa lalu, penerapan UU No. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa memang telah menimbulkan kerusakan pada tatanan kelembagaan pemerintahan adat di berbagai daerah di Indonesia,” pungkas Ibu Sri.
Sedangkan Yohanes Ontot, Wakil Bupati Sanggau, mewakili Pemda Kabupaten Sanggau mengatakan bahwa kehidupan Masyarakat Adat tidak terlepas dari keberadaan hutan adatnya. Dia menyinggung pengaruh globalisasi yang bisa menimbulkan pergeseran pada keberadaan Masyarakat Adat. “Realitasnya sekarang terjadi pergeseran akibat pengaruh globalisasi. Hal ini berisiko berdampak pada kehidupan Masyarakat Adat dan hal ini berpotensi menyingkirkan hak-hak Masyarakat Adat. Bagaimana pun Pemda Kabupaten Sanggau harus bisa selalu hadir mendukung Masyarakat Adat sebagai subjek pembangunan. Posisi pemerintah, misalnya menyediakan fasilitas pelayanan kepada masyarakat. Dukungan juga bisa melalui berbagai peluang kemitraan dengan para pihak. Masyarakat Adat yang sudah mendapatkan pengakuan berdasarkan Perda No. 1/2017, dan penetapan legal formal Hutan Adatnya sesungguhnya adalah aset yang mesti kita jaga bersama. Masyarakat Adat harus konsisten mempertahankan kondisi Hutan Adatnya. Jangan sampai warga mudah tergiur oleh kenaikan harga sawit. Pemda Kab. Sanggau sedang merancang pembangunan lingkar Tiong Kandang. Tujuannya supaya potensi Tiong Kandang tidak saja hanya dimanfaatkan warga Tae saja, tapi semakin banyak orang yang turut memanfaatkannya. Kita harap tujuan ini terwujud ke depannya dan berkelanjutan. Desa-desa lainnya juga harus bisa mengikuti pengalaman Tae, termasuk 2 desa di wilayah Kab. Landak,” papar Pak Ontot.