INI REKOMENDASI DARI DIALOG KEBUDAYAAN DARURAT PERLADANGAN LOKAL, KEARIFAN ATAU ANCAMAN?
Penulis: Manuk Kitow & R. Giring | Foto: Roni/DokID | Editor: R. Giring
Pontianak, KR–Institut Dayakologi bersama dengan Walhi Kalimantan Barat dan IKIP PGRI Pontianak menggelar diaog kebudayaan tentang darurat perladangan lokal kearifan atau ancaman. Dialog diadakan di ruangan jurung Institut Dayakologi, Senin (16/12/2019).
Dialog mengangkat tema yang diambil dari ungkapan dalam Bahasa Dayak Bakatik yakni “nahas kampong ba tuah, nasi ba barakat”, yang artinya adalah beras kampung punya tuah nasinya memiliki berkat.
Pandangan masyarakat pada umumnya dan khususnya orang luar terhadap praktik berladang seringkali disederhanakan sehingga perladangan gilir balik acapkali diidentikkan dengan perusak hutan dan penyebab bencana kabut asap. Cara memahami perladangan gilir balik seperti itu berbahaya sebab berpotensi menimbulkan konflik di masyarakat.
Hal tersebut diungkapkan Krissusandi Gunui’, Direktur Eksekutif Institut Dayakologi. “Itulah yang dialami sejumlah petani lading di Kab. Sintang baru-baru ini. Alih-alih meneggakan instruksi untuk mencegah dan menanggulangi Karhutla, para peladang justru dijadikan korban kriminalisasi,” tambah Gunui’.
Sementara itu, Dr. Saiful Bahri, dosen dan peneliti perladangan gilir balik dari Prodi IlPS IKIP PGRI Pontianak dalam paparannya mengatakan bahwa sistem perladangan orang Dayak Kanayatn di Lingga memiliki nilai-nilai yang sangat layak diajarkan dalam dunia pendidikan. Nilai-nilai tersebut, tambahnya, terdiri dari religiositas, kerja keras, disiplin, demokrasi, kepedulian social dan kepedulian lingkungan.
“Dalam perspektif etnopedagogik, kita sarikan ke dalam 3 (tiga) nilai yakni kearifan local, nilai-nilai budaya luhur, dan karakter bangsa. Semua itu bisa diintegrasikan ke dalam mata pelajaran di sekolah agar peserta didik memahami nilai-nilai dalam system perladangan gilir balik di kalangan masyarakat adat Dayak Kanayatn,” pungkasnya.
Kedaulatan Wilayah Kelola Rakyat
Nikodemus Ale, Direktur Walhi Kalimantan Barat dalam paparannya menekankan pentingnya memahami perladangan gilir balik dari perspektif kedaulatan rakyat atas wilayah kelola rakyat. Dia menambahkan bahwa berladang dengan kearifan local bukan semata-mata untuk hidup dan pemenuhan kebutuhan beras saja, tapi lebih dari itu, yakni sebagai wujud kedaulatan wilayah kelola rakyat. Setelah berladang, biasanya para petani ladang pasti melakukan revegatasi di lahan bekas ladangnya (atau bawas Red: Bhs. Bakatik) dengan berbagai jenis tanaman local; dari aneka jenis kayu hingga buah-buahan local.