Ini Rekomendasi dari Dialog Kebudayaan Darurat Perladangan Lokal, Kearifan atau Ancaman?

3.802 Views
Nikodemus Ale, Direktur Walhi Kalimantan Barat

“Saat ini, situasi para peladang sedang terancam. Semakin sempit wilayah kelolanya, ketiadaan keberpihakan dari petugas negara hingga kurangnya kepedulian para pihak terhadap nasib para petani ladang. Ini tidak boleh dibiarkan. Semua pihak, terutama organisasi masyarakat sipil termasuk kalangan kampus dan akademisi harus berani melakukan advokasi terhadap keberadaan peladang gilir balik. Jika mereka terancam, maka kita juga terancam. Mereka telah berjasa melestarikan daya dukung lingkungan bagi kehidupan dan aneka ragam hayati di wilayah kelolanya,” ujarnya.

Nico menambahkan, sudah semestinya kita bekerjasama untuk peduli pada praktik yang berkearifan lokal seperti ini, sebab peladang yang memiliki akses sekaligus juga dapat memberikan kontrol atas kedaulatan petani itu sendiri, baik dalam pemenuhan pangan dan strategi keberlanjutan kehidupannya.

Rekomendasi

Tujuan dialog kebudayaan ini sendiri adalah menyediakan ruang dialog intereaktif dan produktif antar para pihak khususnya tentang sistem perladangan lokal/khususnya perladangan masyarakat adat Dayak. Meningkatkan pemahaman mahasiswa, kaum muda dan tokoh masyarakat terkait adat istiadat dan tradisi perladangan Dayak, dan memberikan catatan kritis serta rekomendasi bersama tentang posisi perladangan gilir balik sebagai sebuah kearifan budaya dari berbagai sudut pandang.

Emi, panitia pelaksana mengatakan bahwa dari dialog tersebut diharapkan agar para pihak memiliki relasi dialogis dalam mendalami topik sistem perladangan gilir balik, khususnya yang dipraktikkan masyarakat adat Dayak. “Hal lainnya ialah meningkatnya pengetahuan dan pemahaman peserta tentang eksistensi perladangan Dayak sebagai salah satu wujud dari aktualisasi kebudayaan Dayak,” pungkasnya.

Moderator, R. Giring, menyampaikan catatan kritis dan rekomendasi hasil diskusi

Beberapa catatan kritis dan rekomendasi sebagaimana disimpulkan R.Giring sebagai moderator dialog di antaranya adalah sebagai berikut:

(1) Berladang secara gilir balik bukanlah ancaman; sejatinya berladang adalah praktik kebudayaan dan religi yang kontekstual, berkontribusi bagi keberlanjutan lingkungan hidup serta pelestarian aneka ragama sumber benih lokal;

(2) Berladang adalah hak akses sekaligus kontrol masyarakat adat/lokal terhadap wilayah kelolanya demi keberlanjutan kehidupan dalam aspek-aspek yang menyeluruh;

(3) Pemerintah dan para pihak seharusnya mengapresiasi, melindungi dan mengakui bahwa perladangan gilir balik ialah wujud dari praktik pengetahuan dan nilai kearifan lokal yang memiliki potensi positif untuk pembangunan karakter bangsa, seperti budaya gotong royong dan kerjasama,

(4) Pendidikan dan penyadaran kritis bagi masyarakat dan generasi muda perlu ditingkatkan agar sadar akan hak-haknya, akan kedaulatan pangan dan kedaulatan atas wilayah kelola; yang dapat dilakukan dengan berbagai kajian, diskusi dan publikasi serta kampanye public tentang nilai-nilai dari praktik perladangan gilir balik itu sendiri.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *