Kilasan Institut Dayakologi dalam Gerakan Pemberdayaan Pancur Kasih

127 Views

Oleh: Reilind Brigitta – Mahasiswi Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FIB UGM, Yogyakarta; Magang di Institut Dayakologi

Tiga Dekade Pertama

Artikel ini berdasarkan pembacaan penulis atas buku “Gerakan Pemberdayaan Pancur Kasih”. Buku ini sepenuhnya ditulis oleh aktivis “Pancur Kasih” atau Gerakan Pemberdayaan Pancur Kasih (GPPK) yang diterbitkan pada tahun 2013, kerja sama Institut Dayakologi dan Yayasan Tebtebba. Jadi tidak berisi tentang pengalaman lengkap GPPK dan Institut Dayakologi sampai dengan sepuluh tahun terakhir.

Buletin Kalimantan Review, Nomor 01 Tahun 01 Januari-Juni 1992

Yayasan Karya Sosial Pancur Kasih (YKSPK) lahir sebagai respon terhadap marginalisasi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat Dayak akibat kebijakan sentralistik rezim Orde Baru. Secara ideologis, YKSPK hakikatnya perwujudan paling awal dari GPPK. Nama “Pancur Kasih” secara mendasar berarti “sumber kasih” yang mencerminkan tujuan mulia untuk memberdayakan masyarakat dan menyebarkan kasih melalui beragam karyanya hingga sekarang. Gerakan ini terinspirasi pula dari ajaran Mahatma Gandhi, seorang filsuf antikekerasan, ahimsa.

Hasil Riset Etnolinguistik 1997-2007, Diterbitkan dalam Bentuk Buku pada 2008.

Narasi tiga dekade sejarah awal dan kiprah GPPK menunjukkan kontribusi yang signifikan dalam berbagai bidang. Gerakan ini menyediakan pendidikan formal bagi generasi muda dengan menyelenggarakan sekolah SMP dan SMA Santo Fransiskus Asisi tahun 1981 dan 1984. Gerakan ini juga menumbuhkan kesadaran akan hak-hak Masyarakat Adat dan melatih calon-calon pemimpin komunitas.

Dalam bidang ekonomi, dalam sejarahnya, Credit Union Pancur Kasih (CU PK) menjadi langkah besar dalam memperkuat ekonomi masyarakat Dayak yang didirikan pada 1987, diikuti inisiatif kooperatif dan berbagai program wirausaha lainnya. Dalam ranah advokasi dan kebudayaan, didirikan Institut Dayakologi sebagai pusat pelestarian budaya dan menerbitkan Kalimantan Review untuk mengangkat suara Masyarakat Adat yang terpinggirkan.

GPPK aktif mendukung pelindungan hak-hak atas tanah dan sumber daya alam serta memperjuangkan kesetaraan gender melalui Program Pemberdayaan Perempuan Dayak. Pendekatan GPPK adalah “bergerak sambil belajar” atau Aksi-Refleksi-Aksi, yang konsisten melakukan efleksi dan evaluasi atas tiap langkah yang pernah diambil untuk persiapan  menghadapi tantangan baru dan peluang baru.

Buku pedomen atau petunjuk memahami Peta Keberagaman Subsuku dan Bahasa Dayak di Kalimantan Barat (2008).

Pendekatan ini memungkinkan GPPK memberikan dampak tidak hanya di Kalimantan Barat saja, tetapi juga berkontribusi pada gerakan Masyarakat Adat secara nasional, termasuk pembentukan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dan gerakan pemberdayaan ekonomi kerakyatan dengan model Credit Union di berbagai daerah di Indonesia.

Ideologi

Landasan ideologi GPPK menggabungkan nilai-nilai lokal masyarakat Dayak dengan prinsip universal keadilan sosial dan antipenindasan berdasarkan ajaran sosial Gereja, serta ilmu pengetahuan modern. Ideologi ini berpegang pada empat jalan keselamatan dalam filosofi Dayak, yakni [1] terjaminnya konsumsi sebagai kebutuhan dasar kehidupan seperti sandang, pangan, dan papan melalui kegiatan produksi yang berkelanjutan; [2] terjaminnya persediaan benih untuk dikembangkan demi menjamin keberlanjutan kebutuhan agraris dengan mencadangkan hasil panen untuk siklus perladangan berikutnya; [3] Ketiga, terjaminnya kebutuhan sosial budaya melalui tradisi kebersamaan dan upacara adat yang mempererat hubungan sosial; [4] terjaminnya kebutuhan ritual dan spiritual sebagai bentuk penghormatan dan ungkapan syukur pada Sang Pencipta, yang menghubungkan manusia dengan Tuhan melalui ritual adat. A.R. Mecer, motivator gerakan Credit Union dan tokoh pendiri utama “”Pancur Kasih” menyebut empat jalan keselamatan ini sebagai Filosofi Petani karena memang diinspirasikan dari ajaran kebijaksanaan hidup masyarakat petani Dayak Kalimantan.

Nilai-nilai luhur Dayak mengandung tujuh tuah. Tujuh tuah tersebut adalah keanekaragaman dan kesinambungan, kerja sama dan kolektivitas, organik dan naturalitas, ritual dan spiritual, proses dan efektivitas, domestik dan subsistensi, serta hukum adat dan lokalitas. Ketujuh tuah ini berkesinambungan satu dengan yang lain, jika tuah tidak dijalankan dengan baik atau dilanggar, maka akan muncul tulah berupa bencana dan berbagai persoalan. Tujuh tulah tersebut antara lain monokulturisasi, privatisasi, pencemaran, rasionalitas, efisiensi, komersialisasi, dan globalisasi.

Visi Misi

Visi awal Gerakan ini adalah memberdayakan masyarakat Dayak untuk mandiri dalam pembangunan sosial, ekonomi, politik, dan budaya berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, sebagai respons terhadap dampak pemerintahan Orde Baru. Visi ini kemudian berkembang mencakup seluruh masyarakat tertindas, dengan tujuan menciptakan kemandirian ekonomi, meningkatkan martabat sosial-budaya, serta mendorong kedaulatan politik dan keadilan sosial.

Revitalisasi Tampun Juah – Situs Sejarah dan Budaya Dayak Berpendekatan Pemberdayaan Holistik Diterbitkan pada (2019).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *