Hakikat Kerja Budaya


Kita juga belum memiliki kekuatan ilmu pengetahuan yang kokoh sehingga kebudayaan kita compang-camping. Literasi menjadi akar masalah dalam hal ini karena sampai saat ini Indonesia termasuk golongan bangsa yang peringkat literasinya sangat rendah. Dan pada teknologi kita menjadi bulan-bulanan pasar global.
Karena lemahnya kebudayaan dari sisi ekonomi dan sains, maka efeknya juga berkait dengan dunia nilai lainnya, yakni nilai moral dan nilai seni.
Jalan keluar
Kita mesti membangun kebudayaan dari cara pandang di atas. Kerja atau gerakan budaya mesti memasuki ruang-ruang pemikiran terkait dengan kemiskinan petani, rendahnya pendidikan dan juga lemahnya penyebaran ilmu di masyarakat. Kesenjangan ilmu pengetahuan harus diatasi.
Banyak sekali potensi manusia di pedesaan yang sebenarnya tidak akan menjadi problem manakala diberikan kesempatan untuk mendapatkan akses dalam ilmu pengetahuan. Hal yang paling mendasar untuk memutus belenggu “kemiskinan-budaya” pada akhirnya harus meletakkan pada prinsip “memberi kesempatan” untuk berubah, dan itu dilakukan melalui strategi pendidikan yang berpijak pada gerakan literasi
Kita perlu menetapkan literasi dengan gerakan yang lebih massif di masyarakat desa. Kita mesti mengambil peran yang konkret dalam masalah pangan. Dengan memperkuat pangan, selain mengarahkan untuk meningkatkan ekonomi, juga memainkan peran penting dalam urusan merawat bumi. Jangan sampai kerja pertanian tidak berkebudayaan, alias tidak beradab karena merusak lingkungan.
Kerja kebudayaan membutuhkan spirit “membumi dalam kebersamaan”; menyatu, berproses bersama dalam mengubah keadaan secara transformatif (transformasi sosial dibedakan dengan revolusi sosial). “Berpikir makro” (dengan melihat peta keadaan nasional di tengah percaturan kehidupan global) adalah kebutuhan. Sedangkan “bertindak mikro” dengan aksi-aksi konkret adalah kewajiban.[*] Artikel inipernah dimuat di situs koran gala pada 17 Desember 2022: https://www.koran-gala.id/gala-ragam/58711229011/hakikat-kerja-budaya?page=2.