Musdat ke-2 Dayak Desa Tahun 2022: Kesuksesan dan Tantangan

2.407 Views

Oleh: R. GIRING (Koordinator Divisi Riset, Database, DokPub & IT Institut Dayakologi; Koordinator Tim Penyusun Peta Jalan Percepatan Penetapan Hutan Adat Provinsi Kalbar 2018-2022; Alumnus Program Studi Antropologi Budaya pada Program Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Budaya UGM, Yogyakarta).

Hari Kamis-Sabtu yang lalu, (2-5/6/2022) saya dan tim Institut Dayakologi menghadiri Musyawarah Adat Dayak Desa. Musdat ke-2 tahun 2022 Dayak Desa diadakan di rumah adat Batang Panjang, Dusun Modang Desa Bagan Asam, Kecamatan Toba, Kabupaten Sanggau Kalbar.

Musdat diorganisir oleh organisasi bernama Majelis Tertinggi Adat dan Budaya Dayak Desa (MTABDD kini sesuai hasil Musdat ke-2 bertransformasi menjadi MaTAB Dayak Desa). Musyawarah tersebut menghimpun 300-an peserta, terdiri dari tokoh Dayak Desa dari wilayah Kec. Meliau, Kec. Toba dan Kec. Simpang Hulu Kabupaten Ketapang, termasuk perwakilan dari beberapa SKPD Pemkab. Sanggau, peneliti serta utusan ORMAS lain sebagai peninjau.

Tema utama yang diusung adalah “Dayak Desa Bermartabat: Berbudaya,  Maju, Ramah, Tangguh dan Hebat”. Sedangkan sub-temanya “Melalui Musdat ke-2 Dayak Desa, Kita Perkokoh Komitmen Persatuan dan Eksistensi Masyarakat Adat Dayak Desa Menuju Masyarakat Sosial yang Bermartabat”. Tiga kata penting yaitu persatuan, eksistensi, bermartabat pada dasarnya mencerminkan cita-cita mulia dari organisasi masyarakat adat Dayak Desa itu.

Tidak heran bila Musdat ke-2 tahun 2022 itu bertujuan untuk memperkuat persatuan dan komitmen bersama masyarakat adat Dayak Desa dalam menggali, melestarikan dan menerapkan adat istiadat dan kebudayaan dalam tantangan zaman yang semakin berubah. Musdat juga memilih pengurus Majelis Periode 2022-2027.

Artikel singkat ini didasarkan atas “pengamatan terlibat” penulis—lebih memfokuskan pada kesepakatan (secara garis besarnya saja) atau kesuksesan Musdat dan tantangan yang dihadapi. Musdat pada intinya membahas 3 aspek. Pertama aspek organisasi; kedua hukum adat; ketiga sejarah, adat istiadat, budaya dan bahasa.

Aspek Organisasi

Pada Musdat ke-1 tahun 2017 yang digelar di Desa Meranggau, Kec. Meliau, telah dibentuk Majelis Tertinggi Adat dan Budaya Dayak Desa disingkat MTABDD. Semangatnya adalah menjadi wadah berhimpunnya seluruh masyarakat adat Dayak Desa yang berada di wilayah Kec. Meliau, Toba Kabupaten Sanggau hingga Kec. Simpang Hulu Kabupaten Ketapang.

Menurut mukadimah AD MTABDD, tujuan organisasi ini adalah untuk meningkatkan partisipasi masyarakat Dayak Desa dalam pembangunan nasional dan daerah. Di situ dinyatakan pula tekad untuk menggali dan menyatukan adat, budaya dan tradisi masyarakat adat Dayak Desa.

Semangat “menyatukan” adat, budaya dan tradisi  itu, menurut penulis, kontradiktif dengan sifat dinamis dan beragamnya khazanah kebudayaan Dayak Desa itu sendiri. Penyeragaman justru mengancam kekayaan kebudayaan Dayak Desa.

Dalam aspek organisasi disepakati pula perubahan nama organisasi dari MTABDD menjadi MaTAB Dayak Desa. Dalam Bahasa Dayak Desa, makna filosofi “MaTAB” berarti menaungi. Jadi sesuai dengan maksud dan tujuan awal pendiriannya. Masa periode kepengurusan MaTAB Dayak Desa juga diperbaharui dari 3 tahun menjadi 5 tahun.

Lebih lanjut di aspek organisasi, Musdat juga berhasil memilih Kanisius Ebhen, S.ST sebagai Ketua Umum MaTAB Dayak Desa untuk Periode 2022-2027, menyepakati iuran anggota dan syarat-syarat menjadi anggota pengurus. Kanisius Ebhen adalah salah seorang tokoh Dayak Desa dari Teraju dan saat Musdat ini ia juga seorang ASN di Bappeda Kabupaten Sanggau.

Musyawarah juga sepakat mempertahankan semboyan yang selanjutnya menjadi salam adat budaya Dayak Desa yakni Adat ketiti batu, Tanggak rangah Tiang gonting, Patah arang Tumbuh lumut, Losi baganti, Abis kotek baganti sulek, Abis pucuk baganti tarok…Aoook . . . .

Aspek Hukum Adat

Dalam aspek hukum adat dan lembaga adat terdapat beberapa pembaharuan. Alasannya karena hukum adat, terutama nilai amas dan realnya perlu dikontekstualisasikan berdasarkan perkembangan situasi sekarang.

Intinya nilai amas dan real mengalami kenaikan. Ini terutama yang terkait hukum adat pati nyawa. Kesepakatan penting dalam aspek hukum adat adalah bahwa kedudukan hukum adat tidak boleh lebih rendah dari hukum formal. Hal ini kaena hukum adat telah diakui oleh Negara.

Aspek Sejarah, Adat istiadat, Budaya dan Bahasa

Beberapa kesepakatan penting telah dicapai, di antaranya adalah: (1) Orang Dayak Desa adalah penduduk asli Kalimantan yang memiliki sebaran terbanyak di wilayah Kec. Meliau dan Toba Kabupaten Sanggau, juga wilayah Kec. Simpang Hulu Kabupaten Ketapang; (2) Menjaga wilayah adat, keramat adat dan melestarikan hutan adat; (3) Menggali dan melestarikan budaya dan adat istiadat; (4) Melestarikan adat istiadat, budaya dan bahasa Dayak Desa; (5) Sepakat melaksanakan gawai tahunan setiap setelah musim panen padi ladang yang pelaksanaannya bergiliran dari desa ke desa dalam wilayah hukum adat tertentu. Pelaksanaan gawai tahunan tahun 2023 disepakati di wilayah Kec. Toba yang tuan rumahnya akan disepakati kemudian dalam satu desa tertentu.

Landasan Musdat

Dalam pedoman peserta Musdat tidak dicantumkan Perda No. 6 Tahun 2019 tentang Pemajuan Kebudayaan Daerah sebagai landaan pelaksanaannya. Padahal Musdat diselenggarakan dalam ruang lingkup Kabupaten Sanggau.

Kehadiran sejumlah perwakilan dari SKPD Kab. Sanggau pada dasarnya mengkonfirmasi relevansi, kerjasama antarpara pihak dan semangat pelaksanaan Peraturan Daerah tersebut. Perda No. 6 Tahun 2019, Pasal 11 (Ayat 3) menyatakan bahwa peningkatan kesadaran akan pemajuan kebudayaan daerah dapat dilakukan bersama Pemerintah Daerah, masyarakat dan lembaga lainnya.

Dinyatakan pula bahwa dasar pelaksanaan Musdat adalah beberapa produk hukum, di antaranya Permendagri No. 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, dan Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 yang menyatakan hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.

Sehubungan dengan 2 landasan hukum nasional terkait masyarakat adat dan hutan adat, agaknya peluang hukum itu luput dari pembahasan dalam Musdat tersebut. Padahal Kab. Sanggau telah menyediakan peluang itu melalui Perda No. 1 Tahun 2017.

Potret kecil Dayak Desa

Dayak Desa (bunyi vocal [e] dilafalkan seperti pada kata meja) adalah penduduk asli Pulau Kalimantan. Teritori atau wilayah hukum adatnya mencakup Meranggau, Ulu, Semalak, dan Dawak-Belungai. Tim Peneliti Etnolinguistik Institut Dayakologi dalam “Mozaik Dayak: Keberagaman Subsuku dan Bahasa Dayak di Kalimantan Barat” (2008) membedakan Dayak Desa di wilayah Kabupaten Sanggau dengan Dayak Desa (bunyi vocal [e] dilafalkan seperti pada kata elang) yang mayoritas berada di wilayah Kabupaten Sintang.

Secara kebahasaan orang Dayak Desa menggunakan Bahasa Dayak Desa yang hanya dibedakan dalam aksen dan dialeknya, seperti perbedaan antarpenutur Dayak Desa Meranggau, Ulu, Semalak dan Dawak-Belungai.

Riset Sejarah dan Budaya Dayak Desa (Institut Dayakologi, 2021) menunjukkan bahwa wilayah sebaran paling banyak orang Dayak Desa di Kec. Meliau terdapat di 8 desa yaitu (1) Desa Meranggau; (2) Enggadai; (3) Kunyil; (4) Baru Lombak; (5) Melawi Makmur; (6) Balai Tinggi; (7) Lalang; dan (8) Sungai Kembayau. Jumlah mereka sekitar 13.800-an jiwa.

Kemudian, wilayah sebaran Dayak Desa di Kec. Toba, banyak terdapat di 4 desa, meliputi: (1) Teraju; (2) Lumut; (3) Balai Belungai; dan (4) Bagan Asam, yang berjumlah sekitar 8.000-an jiwa. Kemudian, orang Dayak Desa juga terdapat di Sekucing Labai di Kec. Simpang Hulu Kabupaten Ketapang.

Adat istiadat Dayak Desa cukup beragam, seperti adat kelahiran, adat perkawinan, adat beuma betaun atau adat berladang, adat pengobatan orang sakit dan adat kematian. Tiap ritual adat orang Dayak Desa memiliki dimensi sakral religius dan profan. Ritual adatnya mencermintkan relasi manusia dengan sesamanya, dengan leluhurnya, dengan alamnya dan dengan Penciptanya. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya tidak boleh serampangan.

Kebudayaan Dayak Desa, terutama ritual adatnya mengacu pada Kerajaan Adat Hulu Aiq yang berpusat di Laman Sengkuang Kec. Hulu Sungai Kab. Ketapang. Jejaknya ditunjukkan dengan sejarah asal usulnya yang punya persinggungan dengan sejarah Kerajaan Adat Hulu Aiq. Diperjelas lagi dengan keseluruhan wilayah hukum adat Dayak Desa masuk dalam wilayah Desa Sembilan, Demung Sepuluh (atau domong hamilan desa hapuloh: Dialek Dayak Desa di Desa Meranggau).

John Bamba (2010 cetakan kedua) dalam “Dayak Jalai Di Persimpangan Jalan” menuliskan bahwa wilayah kerajaan Hulu Aiq dikenal dengan sebutan Desa Sembilan, Demung Sepuluh (Sembilan Desa, Sepuluh Kepala Adat) merupakan wilayah kerajaan tanpa kekuasaan politis atau dengan kata lain merupakan kerajaan adat (hlm. 167).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *