Kalimantan dan Bencana


Ketika banjr di Ibukota Jakarta awal tahun ini dibarengi dengan bencana banjir dan longsor diberbagai wilayah tanah air, istilah bencana ekologis banyak digunakan oleh berbagai pihak termasuk para pejabat pemerintah. Sebelumnya, istilah yang umum digunakan adalah bencana alam, dimana bencana dinilai sebagai satu situasi yang terjadi karena fenomena alam. Dengan sadar atau tidak, penggunaan istilah bencana alam tersebut telah menjauhkan faktor penting adanya keterlibatan manusia atas terjadinya bencana tersebut.
WALHI sebagai salah organisasi lingkungan hidup dan tertua di Indonesia, telah memberikan definisi yang jelas melalui deklarasi Pulihkan Indonesia pada tahun 2010 dalam forum Konsultasi Nasional Lingkungan Hidup (KNLH). Bencana ekologis adalah akumulasi krisis ekologis yang disebabkan oleh ketidakadilan dan gagalnya sistem pengurusan alam yang telah mengakibatkan kolapsnya pranata kehidupan masyarakat. Model pembangunan dan pengelolaan sumber daya alam menjadi faktor penting dari hadirnya bencana di tanah air
Eksploitasi sebagai model
Kalimantan merupakan wilayah yang dikenal memiliki kekayaan sumber daya alam yang terus menerus dieksploitasi. Hutan kalimantan dieksploitif terus dilakukan, mulai dari logging, perkebunan kelapa sawit, hutan tanaman dan pertambangan. Seluruh sektor tersebut dikembangkan dalam skala besar oleh perusahaan-perusahaan skala besar baik nasional maupun multinasional. Sektor kelapa sawit dan pertambangan merupakan sektor yang dominan melakukan ekspansi dan eksploitasi saat ini di Kalimantan. Diperkirakan bahwa saat ini ada ijin tambang seluas 3,7 juta ha (Jatam 2012) dan perkebunan kelapa sawit 11,5 juta ha (Sawit Watch 2012). Data ini akan semakin fantastis bila dimasukkan IUPHHK yang mencapai 18 juta ha.
Model eksploitasi ini telah dipertegas dan dipertahankan oleh pemerintah dengan dikeluarkannya Masterplan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang telah ditetapkan melalui Peraturan Presiden Nomor 32 tahun 2011, yang membagi Indonesia menjadi 6 koridor ekonomi dan Kalimantan memiliki koridor ekonomi tersendiri. Di koridor Kalimantan ditetapkan tambang, migas, kelapa sawit dan perkayuan sebagai sektor utama.
Mengundang bencana
Dalam dokumen environmental outlook 2013 yang dikeluarkan oleh WALHI menunjukkan bahwa sektor pertambangan dan perkebunan kelapa sawit menjadi kontributor terbesar terhadap bencana ekologis yang terjadi di Kalimantan. Selain dikarena berbagai ketimpangan kepentingan ekonomi makro dan keberlanjutan sumber penghidupan pada berbagai kebijakan pengelolaan sumber daya alam, faktor yang semakin memperarah kondisi ini karena meluasnya praktek korupsi, mengutamakan pendekatan keamanan, praktek kebal hukum serta rendahnya akuntabilitas pengelolaan SDA di Kalimantan.
Tidak ada propinsi di Kalimantan yang bebas dari bencana ekoligis. Banjir, kebakaran hutan dan lahan, kehilangan sumber penghidupan dan konflik sosial mewarnai berbagai wilayah Kalimantan. Seluruh bencana ini sebagai konsekuensi pemerintah yang terus melanggengkan model pengelolaan sumber daya alam yang berbasis eksploitasi. Demokratisasi ekonomi yang dituntut justru membesarnya praktek monopoli dari pelaku usaha skala besar. Keberlanjutan lingkungan diharapkan tetapi yang diperoleh menurunnya kualitas lingkungan hidup. Pengakuan hak masyarakat atas pengelolaan dan penguasaan sumber daya terbajak dan digantikan oleh kompesasi uang, penggusuran bahkan kriminilasasi.
Keadilan ekologis sebagai jawaban
Sebagai sebuah hak, keadilan ekologis sendiri sesungguhnya sudah memiliki berbagai instrumen yang sangat kuat. Dalam konstitusi, padal pasal 18B jelas menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Undang-Undang (UU) Nomor 32/2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, pada kata perlindungannya sebagai roh dari UU ini berlandaskan pada filosofi hak asasi manusia, menyebutkan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, setiap orang mempunyai hak atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan peran dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, setiap orang berhak untuk mengajukan usul dan/atau keberatan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan, dan setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Hak masyarakat ini juga diperkuat dengan pasal 66 yang menyatakan bahwa setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata. Dalam Pasal 91 dan 92 UU ini juga mengatur hak gugat masyarakat, bagaimana hak masyarakat dan organisasi lingkungan hidup mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan/atau melaporkan ke penegak hukum mengenai berbagai masalah lingkungan hidup yang merugikan perikehidupan masyarakat, dan jika diketahui bahwa masyarakat menderita karena akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup sedemikian rupa sehingga mempengaruhi perikehidupan pokok masyarakat, maka instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup dapat bertindak untuk kepentingan masyarakat.
Selain dalam UU PPLH, UU Nomor 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat juga diatur tentang hak hidup pada pasal 9 (Sembilan) bahwa setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan kehidupannya, dan meningkatkan taraf kehidupannya, setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin, setiap orang juga berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Hak atas lingkungan hidup menekankan pentingnya tanggungjawab negara untuk memberikan jaminan terhadap penghormatan, perlindungan dan pemenuhan terhadap penegakan hukum dan kemauan politiknya. Perwujudan hak atas lingkungan hidup akan menjadi prasyarat penting bagi upaya perlindungan keberlanjutan sumber-sumber kehidupan rakyat dan menjawab bencana ekologis di Kalimantan.***