Tradisi Konstruktivisme Cocok Diterapkan di Masa Pandemi Covid-19

Tradisi konstruktivisme dalam pendidikan di Indonesia, sesungguhnya, juga bukan hal yang baru. Tradisi konstruktivisme sudah dikenalkan di Indonesia sejak tahun 1986. Namun, implementasinya masih terbungkus oleh tradisi absolutisme yang memang lebih nyaman bagi sebagian orang.
Dalam tradisi konstruktivisme, kurikulum disusun ‘dari bawah’, dari kalangan pemakai hasil pendidikan. Mereka itu terdiri atas siswa, orang tua, serta masyarakat pemakai hasil pendidikan. Menurut Presiden Joko Widodo, materi ajar mesti didasarkan pengetahuan yang akan dipakai di masa depan bukan pengetahuan.
Karena pengetahuan yang akan dipelajari disusun dari calon pemakai maka pedagogi tidak lagi berbentuk instruksi dari guru ke siswa. Tetapi, guru dan siswa bersama-sama mencari pengetahuan yang terbaik. Pengetahuan yang terbaik adalah pengetahuan yang bermanfaat paling banyak, paling banyak dipakai, serta paling masuk akal.
Karena model mencari pengetahuan yang terbaik ini maka cara evaluasi mesti diubah dari mencari pengetahuan yang benar menjadi mencari pengetahuan yang disusun dengan argumantasi yang baik. Argumentasi yang baik itu meliputi arah pengamatan tepat sasaran, prosedurnya betul dan analisisnya sahih.
Dalam tradisi konstruktivisme seperti ini para guru dan para siswa secara individual dapat dengan bebas menemukan pengetahuan yang melimpah lewat daring. Dengan demikian, ketrampilan berpikir kritis semua pihak secara perlahan diasah dan dikuatkan. Semoga!
Pakem, 12 Juni 2020. (Penulis adalah pengamat pendidikan, pernah menjadi dosen di UNTAN, Pontianak. Kini tinggal di Yogyakarta).

