Tentang Napak Tilas Pertemuan Tumbang Anoi 1894: Memahami Diri Sendiri melalui Sejarah
“Akan tiba saatnya ketika aku sudah tidak disini lagi, orang lain akan datang terus-menerus dengan senyum dan kelemahlembutan untuk merampas apa yang sesungguhnya hakmu yakni tanah dimana kamu tinggal, sumber penghasilanmu dan bahkan makanan yang ada di mulutmu. Kalian akan kehilangan hak kalian yang turun-temurun, dirampas oleh orang asing dan para spekulan yang pada gilirannya akan menjadi para tuan dan pemilik. Sedangkan kalian hai anak-anak negeri ini (Dayak) akan disingkirkan dan tidak akan menjadi apapun kecuali menjadi para kuli dan orang buangan di pulau ini.”(Ditulis dalam bukunya “The White Rajah of Sarawak”, yang terbit tahun 1915).
Pertanyaannya: Apakah keadaan seperti yang dilukiskan oleh James Brooke di atas, tarafnya sudah sampai pada tingkat kesadaran dan rasional ataukah masih di tingkat insting atau emosional? Taraf ini akan menampakkan diri pada tindakan dan persatuan. Yang diperlihatkan oleh Napak Tilas 2019, baik terbuka ataupun di bawah permukaan, persatuan ini masih bersifat verbal dan retorika.
Persatuan masih merupakan persoalan besar bagi Orang Dayak. Mungkin juga menyentuh soal kesetiaan pada Dayak di tengah kilatan rupiah. Soal lain adalah soal Pertemuan Tumbang Anoi 1894 itu sendiri. Apakah Orang Dayak sudah melihatnya dengan jernih? Kejernihan dan kejujuran membaca sejarah akan berpengaruh pada langkah yang akan diambil untuk perubahan maju.
Pertemuan Tumbang Anoi 1894 itu menelurkan 9 butir keputusan yaitu:
- Menghentikan permusuhan dengan pihak Pemerintah Hindia Belanda;
- Menghentikan kebiasaan perang antarsuku dan antardesa;
- Menghentikan kebiasaan balas dendam antarkeluarga;
- Menghentikan kebiasaan adat mangayau;
- Menghentikan kebiasaan adat perbudakan;
- Pihak Belanda mengakui berlakunya Hukum Adat Dayak dan memulihkan segala kedudukan, dan hak-hak suku Dayak dalam lingkup pemerintahan lokal tradisional mereka;
- Penyeragaman hukum adat antarsuku;
- Menghentikan kebiasaan hidup berpindah-pindah dan agar menetap di suatu pemukiman tertentu;
- Mentaati berlakunya penyelesaian sengketa antarpenduduk maupun antarkelompok yang diputuskan oleh Rapat Adat Besar yang khusus diselenggarakan selama Rapat Damai ini berlangsung.
(Sejarah Kabupaten Kapuas, 1981, hal. 33-34; lihat juga: Kerja sama Lembaga Penelitian Universitas Palangka Raya dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah, Palangka Raya, 2006, hal. 71-74).
Rapat Damai Suku Dayak di Tumbang Anoi ditutup pada tanggal 24 Juli 1894 dalam suatu upacara di depan rumah Damang Batu. Sehari kemudian, yaitu pada tanggal 25 Juli 1894, semua kepala suku dan tokoh adat mengucapkan SUMPAH PERDAMAIAN, bahwa mereka selanjutnya dengan segala kemampuan siap membantu Pemerintah Hindia Belanda dalam upaya untuk mencapai sasaran perdamaian dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat (https://www.baritorayapost. com/2019/07/rapat-damai-suku-dayak-di-tumbang-anoi.html).
Dalam Sejarah Kalimantan versi Wikipedia disebutkan bahwa 1894: Pertemuan suku-suku Dayak di Tumbang Anoi, Kalimantan Tengah yang diprakarsai oleh Belanda untuk mengakhiri tradisi ngayaudan menjadi titik awal penaklukan Belanda terhadap seluruh suku Dayak di pedalaman (https://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Kalimantan).
Mengenai penghentian kayau-mangayau, sesungguhnya tidak lepas dari kepentingan Belanda. Sebelum 1894, upaya Belanda meluaskan wilayah kekuasaannya terhalang oleh kayau. Geolog Mayor Müller, sekalipun dikawal oleh kompie Jawa, tetap hilang tak tentu rimba dan sungainya. Perjalanan Dr. Anton W. Nieuwenhuis dari Pontianak ke Samarinda 1894, terhenti di Pulang Pisau karena ancaman kayau.
Patut dicatat sebagai latar belakang sejarah politik bahwa pada tahun 1870, kelompok liberal di Belanda memenangkan kekuasaan di parlemen Belanda. Kelompok inilah kemudian yang membuat Belanda melaksanakan “politik balas-budi” atau “politik etis”. Latar belakang sejarah politik lain yang ada hubungannya dengan Pertemuan Tumbang Anoi 1894 antara lain sebagai berikut:
- Raffles melakukan tiga langkah untuk menghapus perbudakan di Batavia pada 1812. Dia mengharuskan pemilik budak mendaftarkan budak-budaknya, mengenakan pajak khusus sebesar satu dollar Spanyol kepada pemilik budak untuk setiap budak berusia di atas delapan tahun, meneken aturan larangan mengimpor budak ke Pulau Jawa sejak 1813. Kerajaan-kerajaan di luar Jawa yang biasa memasok budak ke Batavia sejak masa VOC, protes. Armada Inggris juga kerap bentrok dengan pelaut-pelaut Makassar yang menyetor budak melalui perompakan (https://historia.id/politik/articles/skandal-perbudakan-raffles-di-hindia-belanda-v279B).
- Java Benevolent Society berpusat di Batavia. Ia menjadi corong kaum antiperbudakan di Hindia Belanda, yang akhirnya baru resmi dilarang oleh pemerintah Hindia Belanda per 1 Januari 1860.
- 1854, Pemerintah Belanda mengeluarkan suatu pembaruan konstitusional untuk daerah Hindia Belanda (“Regeeringsreglement“). Para penguasa setempat di Hindia Belanda akan tetap memiliki kekuasaan tradisional atas warga mereka, dan berkuasa atas nama Belanda. Pemisahan yang ketat antara warga Eropa dan kaum Inlander diakui di dalam undang-undang (https://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Nusantara_(1800%E2%80%931942).
- Di bawah Cornelis Elout, Belanda mengakhiri perdagangan budak di Jawa.
- Inggris dan Prancis telah menghapus perbudakan, masing-masing pada 1833 dan 1848, Belanda baru pada pertengahan abad 19, menyusul hiruk pikuk yang berlebihan, de Tweede Kamer (parlemen Belanda) memutuskan untuk menghapus perbudakan di Hindia Belanda. “Paling lambat pada tanggal 1 Januari 1860 perbudakan di se-antero Hindia Belanda sudah harus dihapus,” demikian bunyi keputusan itu. Dengan begitu terdapat dua tanggal penghapusan perbudakan: 1 Januari 1860 untuk Hindia Timur dan 1 Juli 1863 untuk Hindia Barat (https://historia.id/politik/articles/belanda-sembunyikan-sejarah-perbudakan-di-indonesia-P3exj).
Barangkali beberapa latar belakang sejarah politik di atas bisa memperlihatkan bahwa Pertemuan Tumbang Anoi pemenangnya adalah kolonialis Belanda. Semua poin yang dihasilkan oleh pertemuan sepenuhnya sesuai kepentingan kolonialisme Belanda. Yang tragis adalah semua kepala suku dan tokoh adat mengucapkan SUMPAH PERDAMAIAN, bahwa mereka selanjutnya dengan segala kemampuan siap membantu Pemerintah Hindia Belanda dalam upaya untuk mencapai sasaran perdamaian dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat. Tragis karena berlangsungnya sumpah untuk menjadi anak jajahan dan ilusi pada penjajah bisa memberikan perdamaian dan kesejahteraan, terdapat suatu ilusi menyesatkan pada kebaikan hati pemerintah kolonial dalam sumpah ini.
Pemujaan seperti membuta pada Perjanjian Tumbang Anoi 1894 di sisi lain memperlihatkan bahwa di kalangan Orang Dayak terjadi keterputusan sejarah dan budaya. Sejarah diperlakukan seperti sesuatu yang tidak berguna sehingga bukan tidak mungkin Orang Dayak seperti keledai yang bolak-balik tersandung pada batu yang sama dan terlambat menemukan jalan keluar strategis yang rasuk (compatible).
Universitas Palangka Raya, jika ingin menunaikan harapan para pendiri dan tetua Kalimantan Tengah yang mendirikannya, yaitu menjadi “otak Kalimantan”, menjadi “tunjung nyahu”, apakah tidak sebaiknya apabila mulai memikirkan pembukaan jurusan sejarah dan antropologi. Keterputusan sejarah dan budaya ini kiranya menjadi salah satu pekerjaan rumah yang penyelesaiannya berada di tangan universitas, terutama Univeritas Palangka Raya.
Adanya keterputusan sejarah dan budaya ini yang antara lain kembali diperlihatkan oleh penyanjungan membuta tanpa riset tentang Pertemuan Tumbang Anoi 1894, boleh jadi meniscayakan bahwa belajar sejarah perlu dilakukan ulang dengan sungguh-sungguh.
“Sejarah bukanlah masa lampau, melainkan proses pemikiran atau hasil dari proses pemikiran itu… sehingga masa lampau dapat kita pahami. Ditinjau dari pandangan ini, maka sejarah merupakan tafsiran suatu upaya pemikiran manusia dengan kekuatan dan kelemahannya. Masa lampau tidak bisa dihidupkan lagi, tetapi sejarah sebagai proses pemikiran yang digunakan manusia untuk memahami dirinya sendiri dalam kerangka waktu – sama sekali tidak bisa dimatikan”, tulis William H. Frederick dan Soeri Soeroto (“Pemahaman Sejarah Indonesia Sebelum dan Sesudah Revolusi “, LP3ES, Jakarta, 1982, hlm. 4).
Sejarah dan masa lampau bukanlah dua hal yang sama. Keterputusan sejarah dan budaya membuat kita tidak mengenal diri kita sendiri. Selain adanya penyanjungan yang patut diberi dasar, Napak Tilas Pertemuan Tumbang Anoi 1894 tahun 2019 ini memperlihatkan niat menjadikan Tumbang Anoi sebagai ikon bermakna baru.
Kalau tadinya Pertemuan Tumbang Anoi 1984 merupakan ikon kemenangan kolonialis, di hadapan keadaan hari ini, ikon penjajahan itu mau diubah menjadi lambang persatuan Dayak. Hanya saja tergalangnya persatuan itu masih sangat tidak gampang. Dayak sedang bertarung dengan dirinya sendiri yang jika salah langkah, bisa berkembang menjadi memusuhi dirinya sendiri. Rencana pemindahan ibukota Republik ke Kalimantan Tengah pun dengan demikian muncul sebagai ancaman di hadapan orang-orang yang asing dari dirinya sendiri. Menyasar orang yang sebenarnya bisa dirangkul sebagai sahabat tapi dijadikan musuh. Apakah Orang Dayak berani melihat wajah diri sendiri di kaca sejarah?[]