“Sebuah Testimoni Seabad Sitor Situmorang”


Tidak lama setelah Sitor wafat, isterinya di negeri Belanda, Barbara Purba, meminta saya melukiskan potret figur beliau. Saya merasa bangga dan dengan hati gembira diberikan tugas tanggung jawab moral yang mulia itu.
Bagaimana menuangkan di atas kanvas secara visual, esensi yang lebih bermakna tentang sosok penyair sebagai seniman petarung besar yang saya kagumi dan idolakan. Di mana dalam gaul persahabatan Sitor, ia cukup dekat dengan kalangan pelukis. Terutama tentang Affandi beberapa larik sajaknya menyapa maestro ekspresionis itu dengan akrab.
Sitor selaku penyair, ingatan santer yang paling berkesan dalam memori di benak saya. Selalu terhafal melekat tanpa terlupa atas puisi singkatnya yang amat pendek: “Malam Lebaran, Bulan di atas Kuburan”. Dan “Bunga di atas batu, dibakar sepi “.
Dalam lukisan, idiom bentuk dan warna yang saya atur lewat motif-motif metafor, seperti nyiur melambai dan gugusan lanskap danau Toba sebagai lambang kearifan lokal tanah airnya.
Melatarbelakangi sosok figur Sitor, untuk tetap kuat dengan jiwa nasionalismenya yang kental. Di antara kecenderungan atas pemaduan kosmopolitanisme universal merasuk di antara perantauan puisinya yang memang mendunia.
Barangkali testimoni melalui lukisan saya ini, cukup mewakili atas semangat sambutan antusiasme saya terhadap kiprah juang Sitor Sitomorang di antara skala kurun waktu seabad tersebut.

Bahkan ke depan, gagasan ide dalam rencana pikiran saya, jika masih punya kesempatan diberikan umur panjang. Mungkin di pergelaran pameran tunggal saya bertajuk “Petarung Terakhir” di tahun depan, saya ingin sekali menuangkan secara visual tema lukisan tentang figur “Pram dan Sitor”, dua tokoh seniman petarung besar Indonesia paling revolusioner dalam sejarah… *
Banjarmasin, 19 Oktober 2024.