Pertemuan Tatap Muka Terbatas dan Ancaman Lost Generation


Oleh: Agustinus Sungkalang, S.S.
Dampak massif dari pandemi covid-19 ini salah satunya melanda bidang pendidikan. Berbagai strategi dan upaya sudah sangat maksimal dilakukan oleh Mas Menteri Nadiem Makarim dengan sangat hati-hati. Sangat jelas, bahwa setiap kebijakan yang diterbitkan yaitu kesehatan dan keselamatan menjadi prioritas utama.
Munculnya varian baru ini, semakin mengkhawatirkan karena tingkat penyebarannya dan penularannya sangat tinggi.
Pertanyaan mendasarnya adalah sampai kapan kita harus menunggu berhentinya pandemi covid 19 ini? Perlu kita ketahui, bahwa dampak pembelajaran secara online telah menghasilkan banyak anak yang putus sekolah.
Khusus di Kabupaten Ketapang, menurut data dari Dinas Pendidikan Kab. Ketapang ada 962 pelajar putus sekolah. Pelajar tersebut terdiri dari 703 pelajar tingkat SMP dan 259 pelajar tingkat SD. Laporan dari KPAI juga mencatat anak putus sekolah cukup tinggi selama pandemi covid-19 ini.
Melihat situasi ini, jangan sampai terjadi lost generation 2021 akibat kebijakan dari Mendikbud tidak responsif terhadap masalah ini. Justru dengan dampak ini, Mas Nadiem cepat dan tanggap mengambil suatu keputusan.
Nadiem berpendapat kesenjangan kualitas antara yang punya akses teknologi dan yang tidak akan makin besar. Efek daripada pembelajaran jarak jauh secara berkepanjangan bisa sangat negatif dan permanen. Salah satunya, ancaman putus sekolah.
Salah satu teroboson yang patut kita apresiasi dari Mas Nadiem adalah Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri yakni Menteri Pendidikan dan kebudayaan, Menteri Agama, Menteri Kesehatan, dan Menteri Dalam Negeri tentang Pembelajaran Tatap Muka Terbatas yang tentunya disesuaikan dengan kondisi sekolah, zona tempat tersebut, pertimbangan hak anak, penerapan protokol kesehatan, serta pelaksanaan vaksinaasi bagi tenaga pendidik dan kependidikan.
Tentu, dengan adanya kebijakan tersebut kita sebagai masyarakat, lembaga pendidikan, orangtua, pemerhati pendidikan jangan memberikan tanggapan atau opini yang justru memperkeruh keadaan.
Kita perlu pemahaman mendalam dalam membaca kebijakan ini. Dasar munculnya kebijakan ini salah satunya adalah ancaman lost generation (generasi yang hilang) yang sudah tampak di depan kita. Alasan utama adalah jika pendidikan anak-anak yang sedang tumbuh kembang tidak terfasilitasi dengan baik, fenomena ‘lost generation’benar-benar akan menjadi kenyataan. Tak heran jika dalam diri anak-anak usia sekolah tersebut mengalami kebingungan dan kehilangan arah masa depannya.
Faktor lain, pencapaian belajar siswa menurun karena pembelajaran jarak jauh tidak optimal dalam pencapaian belajar siswa. Fakta, saat ini terjadi kesenjangan kualitas antara yang punya akses ke teknologi dan yang tidak punya akses teknologi semakin besar. Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) secara daring jelas menghadirkan persoalan bagi peserta didik.
Selain soal jaringan internet, tidak sedikit peserta didik dari keluarga miskin juga belum memiliki ponsel atau laptop. Walaupun metode daring menjadi solusi untuk pendidikan kognitif (otak), namun bagaimana sisi afektif (kejiwaan), dan sisi keterampilan (skill) peserta didik? Di sinilah efektifitas metode daring dipertanyakan dan perlu dikaji ulang.
Strategi Pertemuan Tatap Muka Terbatas adalah momentum yang tepat agar ancaman lost generation ini tidak terjadi dan meminimalisir terjadinya penerapan Pembelajaran Jarak Jauh yang terlalu lama. Pelaksanaan PTM Terbatas tentu sudah dikaji dengan sangat matang dalam SKB 4 Menteri tersebut. Salah satu instruksi Mendagri itu menyebutkan daerah zona hijau, kuning, dan jingga, dapat menerapkan pembelajaran PTM Terbatas.
Sementara zona merah wajib menyelenggarakan pembelajaran jarak jauh (PJJ) secara daring. Jadi, penerapan PTM Terbatas ini tidak secara sembarangan, tentu ada standar operasional prosedur yang sudah dipertimbangan dengan baik.
Memperhatikan Kondisi dan PROKES Ketat
Tentu, perlu juga dipahami bahwa pelaksanaan PTM terbatas ini harus dinamis, sangat memperhatikan kondisi daerah dan institusi pendidikan secara real time. Penyebaran Covid-19 di daerah,kota/kabupaten menjadi dasar pertimbangan.
Selain itu, jika ditemukan kasus Covid-19 di sekolah, maka PTM Terbatas harus ditinjau ulang, apakah tetap lanjut atau dihentikan. Koordinasi antara Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, Satgas Covid-19 dan Perhimpunan Profesi, terutama Ikatan Dokter Indonesia menjadi upaya dalam penentuan apakah suatu daerah bisa melakukan PTM Terbatas.
Pun dengan sekolahnya, kesiapan dari segi SDM dan sarana prasarana juga perlu mendapat perhatian, termasuk tervaksinasinya guru dan seluruh perangkat sekolah.
Pelaksanaan protokol kesehatan yang ketat merupakan syarat mutlak dilaksanakannya PTM. Jika perlu, bentuk satgas level sekolah yang mengawasi dan menindak adanya pelanggaran prokes. Euforia akan masuk sekolah pasti akan terjadi pada siswa, sehingga prosedur pencegahan pelanggaran prokes harus dipersiapkan.
Sebaiknya ada kebijakan pelarangan masuk bagi pihak sekolah maupun siswa yang sakit. Kebijakan sekolah ini juga mengatur apakah ada pemotongan tunjangan atau tidak bagi guru yang tidak mengajar karena terjangkit Covid-19.
Kapasitas jumlah siswa/i maksimal pembelajaran harus diperhatikan. Setting ulang ruangan kelas sehingga ada jarak yang memadai antar siswa serta dengan guru. Perhatikan ventilasi ruangan kelas. Jika memungkinkan, sekolah dapat memanfaatkan taman atau lapangan sekolah sebagai ruang pembelajaran.
Selain itu, durasi dan frekuensi pembelajaran juga menjadi prioritas. Kebijakan selama uji coba atau arahan Presiden Jokowi dan Mas Nadiem Makarim menjadi pertimbangan. Dengan waktu pembelajaran yang singkat, tentunya kurikulum dan metode pembelajaran harus disesuaikan.
Kemudian, ada baiknya pelaksanaan PTM memperhatikan pendapat dari orang tua. Orang tua memiliki opsi untuk melakukan PTM terbatas, PJJ, atau keduanya. Menurut penulis, keberhasilan pelaksanaan pendidikan yang baik dan aman tidak hanya menjadi tanggung jawab satu pihak.
Seluruh pihak, baik pemerintah, pihak sekolah, masyarakat, orang tua, maupun siswa sendiri memiliki andil yang sama besar terhadap pendidikan dan keselamatan, serta kesehatan anak.
Catatan lain, menganggap pembelajaran tatap muka sebagai substitusi dari pembelajaran daring PJJ adalah bentuk pengabaian pada kenyataan yang ada. Penting untuk terus memikirkan respons dan siasat cerdas dengan menimbang kesehatan dan keselamatan pelaku pendidikan demi mencegah kualitas pendidikan terpuruk.
Upaya memperbaiki kemampuan menemukan cara terbaik dalam mengelola pendidikan harus menjadi bagian dari kebiasaan baru yang terus dibangun. Pilihan pada perbaikan kapasitas dalam mengupayakan dan melakukan blended learning, misalnya adalah sebuah keharusan bagi semua pelaku pendidikan dan satuan pendidikan; sebuah inisiatif yang perlu ditumbuhkan sebagai kebutuhan baru.
Pada akhirnya, PTM Terbatas adalah saat keselamatan/kesehatan pelaku pendidikan perlu beriring dengan upaya-upaya cerdas dalam memajukan pendidikan. Ia adalah saat untuk menemukan kapasitas dan potensi baru yang bisa terus dikembangkan untuk memajukan pendidikan. PTM Terbatas adalah salah satu upaya agar lost generation tidak terjadi dan anak-anak kita dapat terselamatkan. Semoga. (*) Penulis adalah Aktivis YKSPK dan Guru di Persekolahan St. Fransiskus Asisi Pontianak, Alumnus Universitas Sanata Dharma Yogyakarta).