Perihal Toleransi di Pontianak, Apakah Sekadar Slogan Tanpa Makna?


Lembaga Pendidikan. Lembaga pendidikan (tinggi, menengah dasar dan atas) melaksanakan kurikulum merdeka belajar (Program P5) yang membentuk karakter dan praktik nilai-nilai toleransi dan penghormatan terhadap perbedaan sebagai perwujudan pengenalan, penghayatan dan pendalaman nyata dari beragam realitas sosial budaya pembentuk negara bangsa ini yang disebut Bhineka Tunggal Ika.
Peran keluarga dalam menumbuhkembangkan pengetahuan, sikap dan tindakan toleransi mulai dari dalam keluarga dan lingkungan RT juga perlu ditingkatkan. Keluarga, dalam arti luas merupakan lembaga pendidikan (non-formal).
Tantangan
Prasangka. antar-kelompok niscaya selalu ada. Bahkan di kalangan terdidik sekalipun. Prasangka yang berlebihan lambat laun menciptakan stigma buruk bagi pihak yang di-prasangkai. Prasangka negatif dan diskriminasi bisa dikurangi secara efektif bila faktor pendukung seperti disebut di atas digencarkan, dan tentu perlu dibarengi evaluasi yang efektif.
Hoaks dan Ujaran Kebencian. Penyebaran informasi palsu dan ujaran kebencian melalui media sosial. Di era yang nyaris serba digital kini, tak dipungkiri selalu ada saja individu-individu atau pihak tertentu yang karena motivasi tertentu justru ‘kebablasan’ dalam mengekspresikan dirinya melalui sosial media. Tak jarang ini malah mendatangkan petaka bagi dirinya, juga ‘kemelut’ sosial bagi pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh status akun sosial media tertentu. Pembaca tentu mahfum kenapa pemilik akun sosial media tertentu yang akhirnya harus berhadapan dengan masalah hukum karena ada aduan dari pihak yang merasa dirugikan.
Kurangnya kesadaran. Orang-orang yang tergolong kurang memiliki kesadaran akan pentingnya toleransi dalam sebuah masyarakat niscaya ada, sekecil apapun (untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali). Di masyarakat kota maupun pedesaan. Kelompok ini paling rentan mengalami ‘politisasi’ dari kalangan elite tertentu yang memanfaatkan unsur-unsur etnisitas dan agama demi kepentingan politik kekuasaan.
Konflik sosial bernuansa etnis masa lalu ‘menjadi potret buram’ bagi wajah Kalimantan Barat pada umumnya, dan khususnya Pontianak sebagai ibukota provinsi. Upaya-upaya mediasi dan rekonsiliasi telah dilakukan. Untuk ini, hampir semua pihak bekerja sama. Meskipun ada upaya untuk solusi konflik, akar permasalahan seperti diskriminasi dan ketidakadilan sering kali belum terselesaikan.
Upaya melawan praktik diskriminasi, ketidakadilan, bahkan ‘politisasi’ seperti disebutkan tadi perlu terus ditingkatkan agar toleransi tidak hanya menjadi slogan tetapi menjadi praktik nyata, dan benar-benar hadir di masyarakat.
Beberapa Usulan
1. Penguatan Pendidikan Toleransi
Meningkatkan kualitas pendidikan yang menekankan pentingnya nilai-nilai toleransi dan penghormatan atas perbedaan. Institut Dayakologi dalam ANPRI (Aliansi NGO untuk Pedamaian dan Transformasi) Kalbar punya pengalaman mendorong pengajaran dan pendidikan Mulok Multikultural bagi pelajar di lebih dari 10 SMP/sederajat di Pontianak, Sambas, Landak, dan KKR. Tapi, kini, tinggal SMP St. Fransiskus Asisi, Siantan yang masih melaksanakannya. Upaya berkolaborasi dengan pihak Disdikbud Kalbar juga sudah pernah dilakukan. Sayangnya karena berbagai keterbatasan, kerja sama itu hanya sampai pada Seminar yang membahas tentang “Pendidikan Multikultural di Kalimantan” (lihat: kalimantanreview.com). Beberapa tahun lalu, ANPRI Kalbar menyerukan perdamaian dan pengusutan tuntas kasus pengrusakan rumah ibadah para penganut Ahmadiyah di Sintang (lihat: kalimantanreview.com).
2. Kampanye Media
Mendorong media untuk menyebarkan pesan-pesan positif dan mengedukasi masyarakat tentang risiko bahaya hoaks dan ujaran kebencian. Kampanye media yang mempromosikan nilai-nilai budaya perdamaian, dan toleransi perlu digencarkan.
3. Keterlibatan Komunitas
Partisipasi lintas-komunitas dalam berbagai kegiatan sosial yang mempromosikan keragaman dan inklusivitas perlu ditumbuhkembangkan. Kopdarnya PMII Cabang Pontianak Raya, seperti disebut di atas dapat diperluas lagi.
4. Penegakan Hukum
Penegakan hukum yang tegas terhadap praktik diskriminasi, ketidakadilan, dan kejahatan berdasar kebencian yakni tindakan yang menyakiti atau mengintimidasi seseorang karena ras, agama, orientasi seksualnya, atau karena identifikasi kelompok lainnya. Ini penting agar mengurangi potensi eskalasinya.
Baca juga: https://kalimantanreview.com/budaya-damai-orang-dayak-dan-tantangannya/
Akhir kalimat
Menjelang Pilkada serentak Oktober 2024, toleransi di daerah ini menghadapi tantangan. Agar toleransi tidak hanya menjadi slogan tanpa makna, diperlukan upaya berkelanjutan dari para pihak: pemerintah, lembaga pendidikan, media, masyarakat, dan keluarga-keluarga untuk menciptakan lingkungan yang benar-benar menghargai keragaman dan menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi demi menghadirkan kedamaian dan keharmonisan dalam perdamaian. Semoga. []