IMLEK TAHUN 2564
“…Masuk Desa Ikut Adat-Istiadatnya, Masuk Sungai Ikut Liku-Likunya.”
Munculnya Instruksi Presiden No. 14/1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat istiadat Cina. Isinya semua upacara agama, kepercayaan dan adat-istiadat China hanya boleh dilakukan di lingkungan keluarga atau di dalam ruangan tertutup. Maka lenyaplah perayaan Tahun Baru Imlek, Cap Go Meh, lomba perahu naga, bahkan tarian barongsai.
Selama kurang lebih 32 Tahun, undang-undang ini melarang mengamalkan perayaan Hari Raya Tionghoa, penggunaan bahasa Tionghoa, dan adat-istiadat yang sama, di depan umum. Selain itu, undang-undang ini, walaupun tidak langsung, menolak Agama Kong Hu Chu sebagai agama resmi Indonesia.
Atas dasar inilah, Budayawan Asli Tionghoa asal Kalbar ini, X.F. Asali, mulai menulis dan memperkenalkan tradisi budaya masyarakat Tionghoa di media massa dengan tujuan agar para generasi muda Tionghoa di Kalbar ini, tidak hanya mengetahui tradisinya saja, akan tetapi mereka harus pandai memaknai dan menguasai nilai-nilai dari perayaan tersebut. Keprihatinan itulah yang akhirnya melahirkan sebuah buku berjudul “Aneka Budaya Tionghoa” yang mengulas tentang beragam budaya Tionghoa di Kalimantan Barat. Dan menariknya, buku tersebut mendapat berbagai tanggapan dari berbagai tokoh masyarakat, seperti Prof. Dr. Thambun Anyang, S.H., Dr. William Chang OFM Cap, Prof. Syarif Ibrahim Alqadrie, H. Abang Imien Thaha, Rahmat Sahudin, Adhie Rumbee, Usman Ja’far, Zulfadhli, dan Lindra Lie.
Menurut X. F Asali, dalam bukunya “Aneka Budaya Tionghoa” etimologi kata Imlek yaitu dari kata Im = bulan, Lek = Penanggalan, jadi penanggalan yang berdasarkan pada peredaran bulan, maka disebut penanggalan Imlek. Demikian sistem yang berpatokan pada peredaran bulan juga dipakai pada penanggalan tahun Islam (Hijriah). Se- dangkan tahun Masehi yang kita pakai berpatokan pada peredaran Matahari, maka dalam bahasa Tionghoa sering disebut juga Yang Lek (Yang= Matahari; Lek= Penanggalan). Lebih lanjut lagi, Asali menjelaskan setiap pergantian tahun penanggalan Imlek, dirayakan sebagai Chun Ciek/festival musim semi oleh masyarakat Tiongkok dari dulu sampai sekarang dan sudah menjadi satu tradisi yang mengakar, hal ini dapat dipahami mengingat masyarakat Tiongkok tradisional dulunya adalah masyarakat agraris, yang hidup sebagai petani. Bagi masyarakat tradisional Tiongkok, Chun Ciek menyambut musim semi adalah kegembiraan dan kebahagiaan yang harus dirayakan, dan tradisi ini terbawa sampai sekarang sekalipun kita sudah tidak bertani, bahkan di Indonesia yang tak ada musim semi, sering kita melihat menjelang Imlek dipinggir terlihat banyak pedagang dadakan asesoris imlek bermunculan di pinggir-pinggir jalan menjual replika Mei Hwa (bunga Mei). Kegembiraan datangnya musim semi inilah yang dirayakan keturunan Tionghoa di Indonesia sebagai Tahun Baru Imlek.
Ada beberapa tradisi yang sudah turun temurun dilakukan oleh kalangan etnis Tionghoa dalam merayakan Imlek. Diantaranya, hidangan Imlek, pakaian baru dan rapi, membakar petasan, saling mengunjungi dan memberi hormat serta tidak ketinggalan memberi Angpao.
Makanan yang khas pada tahun baru Imlek adalah kue keranjang atau disebut juga kue Cina, dan ikan bandeng. Biasanya, kue keranjang itu dikirimkan kepada kerabat, sahabat dan relasi. Sementara, ikan bandeng digunakan untuk persembahan sembahyang. Tepat pada hari raya Imlek, biasanya semua orang berpakaian baru dan rapi. Hal ini layaknya hari-hari besar umat lainnya. Anak-anak dan orang-orang yang lebih muda memberi hormat kepada orang-orang tua dengan cara pai-pai atau soja (mengepalkan kedua tangan sambil digoyang-goyang ke depan dan belakang). Setelah itu orang-orang tua memberikan angpao tadi. Angpao adalah amplop berwarna merah berisi uang. “Angpao tersebut merupakan tradisi yang diberikan oleh orangtua kepada anaknya, supaya anak tersebut bisa berkembang dengan baik. Dan ini merupakan tradisi yang tidak tertulis, mulai tanggal 1 anak-anak tidak boleh meminta uang,” kata X.F. Asali, yang juga merupakan Tokoh Budayawan Tionghoa pertama di Kalbar tahun 2011 mendapat penghargaan dari Gubernur Kalbar.
Tradisi lainnya adalah tepat pada hari raya Imlek orang membakar petasan atau kembang api. Ini merupakan simbol kegembiraan karena rezekinya “meledak”. Adapula yang memanggil barongsai tanda mengundang rezeki dan menolak bala dan mengenai tradisi saling mengunjungi menyambut Imlek ini berlangsung selama 15 hari dan berakhir pada saat perayaan Cap Go Meh (hari ke-15 setelah Tahun Baru Imlek).
X. F. Asali juga menegaskan nilai-nilai budaya Imlek di Kalbar masih terpelihara dan terjaga dengan baik karena situasi dan kondisi di Kalbar yang rukun, damai dan menyenangkan. “Kuatnya tradisi Imlek di Kalbar ini, sama sekali tidak ada pergeseran dari nilai-nilai yang sudah ada, karena terikat oleh kata ‘Bhakti’ dan ini sifatnya turun-temurun,” ungkap Asali. Misalnya, Tahun baru Imlek di Kalbar tanpa kue keranjang, rasanya tidak komplit, seperti hari raya lebaran tanpa ketupat. Kemudian mengenai kartu merah ucapan selamat tahun baru, mula-mula merupakan surat dengan tulisan kata-kata pujian dan arif dari bawahan atau yang muda kepada atasan atau lebih tua di kalangan birokrat dan setiap pengusaha pada setiap tahun baru yang harus mereka kunjungi. Pada zaman itu, mereka lakukan tanpa bantuan kendaraan bermotor, paling-paling hanya memakai kuda atau ditandu bagi mereka yang berada. Saking banyaknya harus dikunjungi, sedangkan waktunya terbatas s/d 15 (Cap Go Meh). Tradisi ini budaya ini sampai sekarang di Kalimantan Barat masih dilakukan, termasuk sebagian besar etnis Tionghoa di seluruh dunia, dengan makna yang sama, yakni Kung Sie Fa Chai, yang artinya: ucapan selamat, semoga makmur.
Soal jeruk Bali, pada tahun baru Imlek, banyak kita temui di pasar dan harganya pun lebih mahal dari hari biasa. Hal ini pada momennnya banyak pembeli. Sebagai hadiah, kado atau untuk diletakkan sendiri di ruangan tamu. Dengan maknanya, Tah Jik yang berarti “Selamat Besar/Sagat Selamat”. Dalam lafal Tionghoa Tah = besar dan Jik = Jeruk. Maka di Tahun Baru, ruang tamu di atas meja dile-takkan sepasang atau lebih Jeruk Bali. Begitu tamu datang dan melihat Jeruk Bali, secara spontan akan mengucapkan Tah Jik (Sangat Selamat).
Dalam perjalanannya, perayaan tahun baru Imlek di Kalbar masa kini, sekaligus merupakan ajang bersilahturahmi anggota masyarakat, yang menciptakan keakraban dan keharmonisan lintas etnis dalam berbagi kegembiraan dan kebahagian. Ketika ditanya mengenai pesan damai Imlek tahun 2013, X.F. Asali mengungkapkan kita sebagai manusia yang hidup di duniawi ini tidak dipesan oleh siapapun. “Hidup ini harus berukur, apalagi kami sebagai orang Hakka, sebelum merantau sudah diberikan Petuah, masuk desa ikut adat-istiadatnya, masuk sungai ikut liku- likunya,” tandas Pak Asali dengan nada serius. F.X. Asali juga berpendapat, bahwa ada filosofi perdamaian yang sangat mengakar pada Budaya Tionghoa yaitu Ju Siang Sui Suk Ju Kuang Sui Wan yang artinya “Masuk desa/kampung ikutilah adat-istiadatnya, masuk sungai ikutilah liku-likunya”.
Bertumbuhkembangnya kalangan Muda Tionghoa di Kota Pontianak dan semaraknya mereka dalam merayakan Hari Raya Imlek bersama menjadi satu harapan baru bagi X.F. Asali agar mereka menjadi penerus dan penjaga tradisi budaya Tionghoa di Kalbar, tidak hanya ikut merayakan saja, tetapi kalangan muda Tionghoa juga harus memahami nilai-nilai dan makna dalam perayaan tersebut. “Saya berharap, anak-anak muda khususnya kalangan Tionghoa yang mengikuti dan merayakan Hari Raya Imlek atau festival hari apa saja, usahakanlah mengerti maknanya, cari tahu asal usulnya di mana, dan itu semua harus dilaksanakan 100% intinya, jangan sampai melanggar, karena ini semua tergantung dari situasi dan kondisi. Sebagai orang Tionghoa, kita harus mengikutinya karena tentu ini semua ada manfaatnya,” papar X.F. Asali.***