ORANG SIMPAKNG, KABARMU SEKARANG


Perampasan tanah dan penggusuran hutan dan lahan orang Simpakng tersebut pada dasarnya adalah penyingkiran basis-basis kehidupan orang Simpakng. Disebut basis kehidupan karena tanah, hutan, lahan dan air memiliki aspek holistik bagi kehidupan mereka, sumber kehidupan holistik. Tidak sekedar berfungsi ekonomi, tapi secara esensial juga sosial budaya, politik, ekologis dan religio spiritualnya.
Orang Simpakng memiliki ikatan sejarah, sosial, budaya, ekonomi, politik dan religio spiritual dengan tanahnya secara berkelanjutan. S. Djuweng (1999) mengatakan bahwa tanah adalah penghubung generasi masa lalu, masa kini dan masa depan.
Sebaliknya, bagi pihak lain, terutama korporasi, tanah, hutan, lahan dan air lebih dilihat sebagai modal produksi yang harus dieksploitasi untuk melipatgandakan keuntungan (baca: modal) sebanyak-banyaknya bagi si pemilik modal itu.
Untuk tujuan akumulasi modal, ekspansi kapitalisme industri ekstraktif berbasis hutan dan lahan pun dilakukan sehingga seringkali masyarakat adat dan masyarakat lokal menjadi korbannya.
Dari pengalaman konflik perusahaan HTI vs warga Simpakng di Kualan Hilir di atas, diketahui bahwa izin usaha dari Pemerintah kerap dijadikan alat perampasan dan penggusuran tanah, hutan dan lahan di wilayah adat.
Pihak perusahaan mengintimidasi warga dengan mengatakan bahwa tanah atau lahan yang digusur atau “land clearing” tersebut adalah tanah negara yang sudah diserahkan ke pihak korporasi untuk dikuasai. Di sini kita saksikan bahwa “kuasa negara” melalui izin usaha itu secara gamblang dijadikan instrumen perampasan dan penggusuran.
Hal itu ditunjukkan Pateh Desa Kualan Hilir, Yohanes Heng. PT. XX (inisial), perusahaan yang mengembangkan kebun HTI telah menggusur sawah, kebun, karet dan bawas warga meskipun warga tidak pernah menyerahkan lahannnya. “Saat kami mempertanyakan masalah penggusuran itu, pihak perusahaan mengancam kami dengan mengatakan bahwa jika kami memprotes, maka kami akan berhadapan dengan Negara,” ungkapnya.
Izin usaha yang hanya berdasarkan otoritas penguasa dan sentralistik cenderung menegasikan realitas dan fakta di lapangan. Tidak heran jika di banyak daerah, areal pemukiman (kampung, dusun, desa) dan wilayah kelola warga berada dalam areal konsesi IUP maupun HGU milik perusahaan tertentu. Atau berada dalam kawasan hutan Negara.
Itulah yang dialami orang Simpang di Desa Kualan Hilir, Kec. Simpang Hulu. PT. XX (inisial), sebuah perusahaan kebun HTI mengantongi SK IUPHHK-HTI dari Menteri Kehutanan RI Nomor: 723/MENHUT-II/2010. Berdasarkan SK inilah, perusahaan membersihkan dan menggusur lahan warga, bawas, karet dan sawah masyarakat setempat.
MENANTI PENYELESAIAN, KOMPAK LAKSANAKAN PERDA NOMOR 8 TAHUN 2020
Kita menyaksikan bahwa marjinalisasi dan intimidasi terjadi. Pengalaman nyata tentang proses penghancuran sistematis tatanan sosial, budaya, ekonomi, politik dan ekologis masyarakat Dayak Simpakng.
Orang Simpakng perlu kehadiran mesias, sang pembebas dari konflik tanah dengan pihak perusahaan dan Negara. Menceritakan pengalaman konflik tanah, konflik penguasaan sumber daya alam dalam seminar adat kala itu adalah respon verbal guna meretas kebuntuan-kebuntuan dari konflik. Sinyalemen yang menggambarkan geliat perlawanan “orang-orang kalah”.
Pendekatan dialogis perlu dibangun bersama para pihak terkait untuk menemukan akar persoalan konflik yang dialami. Kita tentu tidak ingin respon verba di atas berubah menjadi perlawanan yang melibatkan tindakan kekerasan yang lebih luas.
Para tokoh orang Simpakng, formal maupun non-formal mesti mengambil posisi “duduk bersama” dengan warga Simpakng, memperjuangkan keadilan dan harkat-martabat manusia Dayak Simpakng seutuhnya. Tentu dengan mempertimbangkan potensi kearifan lokalnya, bila berhasil punya mengidentifikasi diri sebagai masyarakat adat.
Uraian di atas memperlihatkan bahwa konflik tanah di wilayah masyarakat adat Dayak Simpakng melibatkan aktor di pihak korporasi dan Negara. Hutan-tanah-air adalah satu-kesatuan ekosistem holistik yang tak terpisahkan satu sama lain dalam kehidupan orang Simpakng.
Untuk mengurangi risiko dampak negatif konflik berkelanjutan, maka orang Simpakng mesti segera berusaha mencari solusi. Masa depan manusia, alam dan budaya Dayak Simpakng ada di tangan generasi Dayak Simpakng sekarang.
Perda Nomor: 8 Tahun 2020 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat sejatinya segera dapat diimplementasikan sebagai langkah penyelesaian konflik tenurial dan untuk mengurangi konflik tanah berkepanjangan.
Lembaga adat atau pranata hukum yang hidup, berlaku dan dipatuhi bersama di komunitas (living law) harus diakui dan dihormati oleh para pihak terutama oleh seluruh masyarakat adat Dayak Simpakng. Maksimalkan fungsi lembaga adat dan pranata hukum adat sebagai jalan bagi penyelesaian konflik tenurial atau konflik tanah.
SEKILAS TENTANG ORANG SIMPAKNG
Tim Peneliti Institut Dayakologi dalam “Mozaik Dayak: Keberagaman Subsuku dan Bahasa Dayak di Kalimantan Barat (2008) menuliskan, Dayak Simpakng atau sering ditulis “Dayak Simpang” saja, terutama orang luar yang tak bisa melafalkan bunyi konsonan sebelum nasal (huruf k sebelum ng) adalah salah satu Subsuku Dayak yang banyak bermukim di wilayah Kec. Simpang Hulu dan Simpang Dua Kabupaten Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat. Sebagian kecil mereka tinggal di perbatasan wilayah Kab. Ketapang-Sanggau, tepatnya di sepanjang DAS Banjur, Semandang, Baram dan Kualatn.
Menurut riset etnolinguistik itu, istilah Simpakng diambil dari nama sungai di Kec. Teluk Melanau yang berjarak kurang lebih 70 kilometer dari tempat tinggal orang Simpakng. Namun berdasarkan sejarah asal usulnya, orang Simpakng pernah tinggal di daerah aliran Sungai Simpakng. Mereka menyebut diri mereka orang Simpakng atau Banua Simpakng sebagai nama kolektif masyarakat yang bermukim di sepanjang daerah aliran Sungai Banjur, Baram dan Kualatn. Di Banua Simpakng, setiap DAS tadi cenderung memiliki ciri bahasa yang sedikit berbeda dalam intonasi, langgam dan kosa-kata tertentu saja. Secara kebahasaan Subsuku Dayak Simpakng tergolong dalam rumpun Bidayuhik (Ibid, 2008).
PENUTUP
Konflik tanah atau konflik tenurial di wilayah adat orang Simpakng di atas melibatkan aktor dari pihak perusahaan swasta, pemerintah, dan warga masyarakat. Perluasan perkebunan kelapa sawit, kebun HTI dan tambang yang abai dengan perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia memperparah hubungan konflik tersebut. Apalagi jika dilakukan dengan merampas dan menggusur.
Warga Simpakng selaku pihak yang dirugikan patut melaporkan marjinalisasi dan tindakan pelanggaran HAM tersebut ke pihak Komnas HAM RI. Orang Simpakng, kabarmu sekarang.***