Menanti Naga Muncul: Tanah Dayak Kekurangan Dayak, Indonesia Kekurangan Orang Indonesia

1.058 Views

Saya mengikuti terus perkembangan Dayak di seluruh anak benua Pulau Borneo, terutama di Kalimantan Timur (Kaltim), lebih-lebih setelah pemerintah Pusat memutuskan pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke daerah tersebut.

Berita-berita yang saya terima belakangan ini melukiskan bahwa masyarakat Dayak Kaltara sekarang mengalami suatu perkembangan maju. Unjuk rasa perlawanan  membela diri, mempertahankan dan merebut hak mereka yang hilang berlangsung terus.

Adanya unjuk rasa dengan tuntutan yang jelas, saya pahami bahwa perlawanan itu tidak spontan, tapi dilakukan dengan kesadaran, terarah dan terorganisasi. Spontanisme dan sporadik tidak akan memberikan hasil  berarti dan mendasar, tapi salah-salah bisa menambah deraaan.

Betapapun secara jumlah, Orang Dayak tidak banyak, bahkan menjadi minoritas di kampung lahir mereka sendiri, jika ada kesadaran jika terorganisasi, kata-kata mereka akan mempunyai daya paksa. Kesadaran yang kuat akan mencegah seseorang menjadi dirinya sebagai barang dagangan. Penyakit memperdagangkan diri bukan tidak ada di kalangan Dayak. Bahkan cukup mengkhawatirkan.

Mudah-mudahan geliat kebangkitan Dayak di Kaltara dan di mana pun di anak benua ini merupakan isyarat akan munculnya kawanan naga warna-warni sebagaimana kisah Kakek di atas. Apabila Dayak mengkomoditaskan diri, bisa dipastikan naga warna-warni itu tidak akan muncul, bahkan seperti kawanan buaya Landuken akan lari dari rumahnya. Hanya saja, apakah Orang Dayak yang memandang diri semua ‘pangkalima’, semua jago dan hebat’ bersepakat bahwa Dayak Berorganisasi bukanlah hal sederhana, bahkan kalau saya mengatakan ‘tidak gampang’, ‘sulit’.

Apalagi sekarang di tengah badai hedonisme, segala-galanya ditakar dengan materi sebagaimana tercermin dalam kata-kata ‘diá jadi bari’ (tidak jadi nasi) – ungkapan yang sebenarnya menggambarkan bahwa dalam kehidupan Dayak mendapatkan nasi pun tidak gampang.

Padahal secara sejarah budaya dan filosofi, Dayak itu sinonim dari pejuang tanpa hari pension. Keadaan Dayak yang demikian mengantar saya pada kesimpulan bahwa Tanah Dayak Kekurangan Dayak; Indonesia kekurangan Orang Indonesia.

Selain berlawan, hal lain tak kalah penting adalah membentuk barisan sumber daya manusia (SDM) yang  panjang dan kokoh, terus-menerus dan terencana. Manggatang Utus, Dayak Berdaya, tidak akan mungkin dilakukan oleh SDM yang tanggung.

Apalagi jika terjerumus ke dalam jual-beli gelar dan nilai. Memperdagangkan pendidikan, membeli gelar dan nilai sekedar hanya untuk nampak mentereng, patut dihindari. Dari luar, nampak keren tapi hati dan otak kosong. Bahkan, saya kira, terhadap perilaku begini patut berani  kita nyatakan sebagai tindak khianat dan bunuh diri Utus.

Saya bisa mencanangkan hal begini, karena saya pun pernah berkecimpung di dunia pendidikan, termasuk pendidikan tinggi di Tanah Dayak dan tempat-tempat lain. Deretan data saya miliki. Naga warna-warni akan muncul pada saat ada barisan SDM Dayak yang tangguh.  Salah satu jalan ke sana adalah jalan minoritas kreatif.

Yang patut menjadi perhatian        kita bersama adalah keadaan Dayak di sekitar IKN. Nasib mereka akan lebih dari Betawi tanda-tandanya sudah mulai nampak pada hari ini. Jumlah mereka sangat sedikit, tidak terorganisasi, minim kesadaran dan kemampuan. Dalam bahasa Orang Dayak Ngaju keadaan mereka disebut sebagai ‘umpan maram’ (umpan busuk) IKN.

Keadaan minoritas ini lebih terancam lagi pada saat etnik-etnik lain mengaku sebagai masyarakat adat Kaltim sehingga berhak menuntut pengakuan dan perlindungan sebagai Masyarakat Adat Kaltim dengan segala hak-wajibnya, terutama yang berhubungan dengan sumber daya alam dan teritori.

Secara teori etnik baru sekalipun mayoritas, bukanlah masarakat adat Kaltim, apalagi jika menggunakan sudut pandang UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Masalah ini seyogyanya menjadi perhatian serius para petinggi berbagai tingkat.

Menyelamatkan Dayak sekitar IKN kiranya layak menjadi perhatian semua, terutama Dayak di seluruh anak benua bernama Borneo ini. Saya meyakini ada jalan keluar adil ketika berlangsung diskusi jujur dan terbuka dengan maksud baik. Boleh wakil raja-raja ikut serta, tapi lapisan akar rumput pun jangan ditinggalkan. Raja tidak ada dahulu tanpa warga akar rumput. Republik Indonesia pun tidak akan ada tanpa rakyat Indonesia.  

People are the center. No one should be left behind. Rakyat adalah poros. Tak seorang pun boleh ditinggalkan di belakang.” (AIPI – S20, 2022 (dari Yunita T. Winarto, antropolog, Komisi Kebudayaan AIPI). “Ensuring that no one is left behind – How do we protect the poorest and most vulnerable from the crisis and empower them to realize the SDGs. Menjamin bahwa tak seorang pun yang ditingggalkan di belakang. Bagaimana melindungi mereka yang termiskin dan terpapa dari krisis serta bagaimana memberdayakan mereka guna melaksanakan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.” (Statements UN Office of the High Commissioner for Human Rights, 06 July 2021).

Patut dicatat bahwa pepatah Tiongkok Kuno “yang menabur angin akan menuai badai”, dalam kasus IKN inipun masih relevan. Tidak percaya? Waktu akan mengatakan kebenaran kepada kita. Kepada Orang Dayak, pertanyaan saya: Apakah kalian betul masih merupakan anak enggang putera-puteri naga ataukah hanya nama saja yang Dayak tapi secara hakiki sudah bukan!?***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *