Menanti Naga Muncul: Tanah Dayak Kekurangan Dayak, Indonesia Kekurangan Orang Indonesia
Oleh: Kusni Sulang (Tokoh Kebudayaan Dayak Kalimantan Tengah)
“People are the center. No one should be left behind. Rakyat adalah poros. Tak seorang pun boleh ditinggalkan di belakang.”
- AIPI – S20, 2022 (dari Yunita T. Winarto, antropolog, Komisi Kebudayaan AIPI)
“Ensuring that no one is left behind – How do we protect the poorest and most vulnerable from the crisis and empower them to realize the SDGs. Menjamin bahwa tak seorang pun yang ditingggalkan di belakang. Bagaimana melindungi mereka yang termiskin dan terpapa dari krisis serta bagaimana memberdayakan mereka guna melaksanakan Tujiuan Pembangunan Berkelanjutan.”
- Statements Office of the High Commissioner for Human Rights, 06 July 2021
Waktu kecil, subuh-subuh, Kakek selalu mondar-mandir di sekitar di mana saya tidur sambil menuturkan berbagai cerita. Saban subuh ceritanya berbeda-beda dan cerita-cerita almarhum sampai sekarang masih saya ingat serta menjadi bahan berharga untuk saya telisik dan pahami ulang.
Kebiasaan orangtua-orangtua bercerita ini sekarang bisa dikatakan sirna dari masyrakat Dayak – salah satu musabab orang Dayak menjadi asing akan dirinya sendiri. Salah satu cerita Kakek itu mengisahkan bahwa pada suatu ketika, entah kapan, naga warna-warni akan muncul di permukaan sungai.
Pada saat itu seluruh Pulau termasuk kampung-halaman kita, akan digenangi bah besar yang menimbulkan kerusakan hebat. Tapi setelah itu, kenyamanan, keamanan, kesejahteraan yang dirindukan anak manusia, akan hadir di tengah-tengah kehidupan. Ada kehidupan baru yang manusiawi setelah musibah atau kejadian besar.
Setelah sekian puluh tahun tak kembali, pada suatu hari, saya pulang ke Kasongan, Katingan, kampung kelahiran yang terletak hanya kurang-lebih 60 (enam puluh) kilometer dari Palangka Raya. Orang-orang kampung mengatakan bahwa beberapa saat lalu, serombongan buaya dari Teluk Landuken, tidak jauh dari Kasongan, berbondong-bondong menghilir meninggalkan Landuken, sarang mereka.
Saya tanyakan apakah buaya yang lari dari rumah mereka itu berwarna-warni? Dijawab: Tidak, mana pula ada buaya berwarna-warni? Tanya mereka sekali menyanggah bayangan saya. Saya diam, tidak mengomentari jawaban ini sepatah katapun. Hanya dari jawaban demikian, saya melihat bahwa di masyarakat Dayak, tanpa disadari sedang berlangsung suatu keterputusan budaya selain sejarah. Kisah-kisah rakyat, dan berbagai bentuk sastra dan sejarah lisan, berbagai kearifan lokal, sudah lenyap begitu saja tanpa tercatat dibawa arus deras waktu yang tak perduli.
Tentang larinya buaya-buaya itu dari rumah mereka, saya menduga karena Teluk Landuken di mana mereka berumah sudah penuh airraksa – buah kerja penambangan emas. Jumlah air raksa di Teluk sudah tidak bisa mereka tanggulangi lagi. Bangau, burung Bakaka pun sejak ikan di sungai mulai berkurang, sudah tidak pernah lagi saya temui. Demikian juga ribuan kunang-kunang. Tapi justru air sungai Katingan yang demikian pulalah yang dikonsumsi oleh Uluh Katingan.
Dengan kacamata sekarang, saya memahami kisah munculnya naga-naga warna-warni diiringi suatu musibah bahkan bisa disebut kekacauan besar, perubahan mendasar itu terjadi setelah timbulnya gerakan sosial besar yang menggoncangkan bumi dan langit. Penduduk sudah tidak lagi mampu menahan segala rupa bentuk himpitan.
Kehidupan baru terjadi menyusul perombakan mendasar. Ini adalah cara Uluh Katingan mencatat sejarah dan menyimpulkan pengalaman. Kisah ini mengingatkan saya akan kata-kata Bung Karno tentang keniscayaan ‘menjebol dan membangun’ atau pandangan filosof Perancis, Jacques Derrida tentang ‘destruction’ dan ‘reconstruction’ atau tentang gerak sebagai hukum universal yang tak bisa dielak oleh apa dan siapapun.
Bayangkan saja sekian puluh tahun saya meninggalkan Kasongan, tempat saya menumpang lahir, pelabuhan klotok, dahulu tepian menambatkan perahu, sampai detik ini tidak mengalami perubahan berarti. Perubahan yang terjadi adalah terbongkarnya hutan tropis Kéréng Pangi, keruhnya air sungai Katingan dan kalau diterjuni kita merasa seperti digigit keras oleh hewan ajaib. Orang-orang menyebutnya merkuri. Luar biasanya, saya tidak pernah mendengar orang-orang berbincang tentang perbedaan kemajuan manusiawi dengan kerusakan baik di kalangan Orang Sekolahan dan para petinggi Katingan.
Beberapa tahun yang lalu, Lembaga di mana sekarang saya menyumbangan tenaga dan pikiran dengan harapan bisa menjadi sarana mewujudkan mimpi terhadap negeri, termasuk Dayak di dalamnya. (Dayak bagi saya adalah suatu pendekatan dalam pemberdayaan manusiawi sesuai filosofi hidup–mati Dayak: ‘réngan tingang nyanak jata’ (anak enggang, putera-puteri naga), bukan berkarakter etnosentrisme, mengirim dua orang teman ke Kalimantan Utara (Kaltara, sekarang provinsi tersendiri).
Sepulang dari Kaltara dua teman tersebut mengisahkan bahwa keadaan Dayak di Kaltara sangat jadi menyedihkan. Miris, jika menggunakan istilah Orang Jawa. Tidak berdaya dan jadi bulan-bulanan perusahaan besar swasta atau investor. Mereka pun tidak melihat cahaya yang mengisyaratkan bahwa penderitaan yang sedang mereka dera itu bukanlah takdir. Di ujung labirin kegelapan ada cahaya. Bahwa matahari itu tidak runtuh dan masih ada.