Berladang Itu Berjuang


Oleh: R. Giring (Penulis adalah Anggota Dewan Daerah Walhi Kalbar periode 2012-2016. Sekarang aktif di Gerakan Pemberdayaan Pancur Kasih & Institut Dayakologi).
Perladangan di Kalimantan telah lama menjadi objek kajian para antropolog, sebut saja Michael R. Dove (1988) tentang perladangan di masyarakat Dayak Kantuk, Kab. Kapuas Hulu. Dia menyebut berladang dengan sistem tebas-tebang-bakar sebagai strategi adaptasi orang Kantuk terhadap alamnya. Hutan hujan tropis mempengaruhi tingkat keasaman tanah cukup tinggi. Tulisan ini juga pernah dimuat pada kalimantantoday.com.

Untuk mengurangi kadar asam tanah dan menambah hara / kesuburannya, maka sistem tebas-tebang-bakar cocok untuk tanah Kalimantan untuk meningkatkan unsur hara tanah yang sangat dibutuhkan oleh pertumbuhan padi dan aneka benih varitas lokal lainnya.
Berladang dalam tulisan adalah praktik bercocok tanam yang berkearifan lokal, berdasarkan adat istiadat dan hukum adatnya dengan aneka benih lokal.
Orang Dayak Bakatik (sebaran paling banyak di daerah Kab. Bengkayang) mengenal uma’ mototn yang berlokasi di dataran tinggi, uma’ adalah ladang yang berlokasi di dataran rendah atau sedang. Kemudian taya’ jenis ladang khusus untuk lahan yang ditanami aneka jenis sayuran, baik labu, aneka jenis bayam, palawija, sawi kampung, dan lain-lain.
Padi biasa dan padi pulut ditanam di ladang, baik uma’ maupun uma’ mototn, yang di sela-selanya ditanam juga tanaman lain seperti jagung, aneka jenis labu, aneka jenis timun, dan lain-lain.