Berladang Itu Adalah Berjuang

4.484 Views

Oleh: R. Giring Anggota Dewan Daerah Walhi Kalbar periode 2012-2016. Aktif di Gerakan Pemberdayaan Pancur Kasih & Institut Dayakologi

Artikel ini pernah dimuat kalimantantoday.com. Perladangan di Kalimantan telah lama menjadi objek kajian para antropolog. Sebut saja di antaranya Michael R. Dove (1988) yang meneliti sistem perladangan pada masyarakat Dayak Kantuk, Kab. Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.

Michael R. Dove menyebutkan bahwa berladang dengan sistem tebas-tebang-bakar sebagai strategi adaptasi orang Kantuk terhadap alamnya. Hutan hujan tropis mempengaruhi tingkat keasaman tanah cukup tinggi. Untuk menaikkan unsur hara maka orang Kantuk berladang dengan sistem tebas-tebang-bakar.

Baca juga: https://kalimantanreview.com/ini-rekomendasi-dari-dialog-kebudayaan-darurat-perladangan-lokal-kearifan-atau-ancaman/

R. Giring
R. Giring

Untuk mengurangi kadar asam tanah dan menambah unsur hara kesuburannya, maka sistem tebas-tebang-bakar cocok untuk tanah Kalimantan untuk meningkatkan unsur hara tanah yang sangat dibutuhkan oleh pertumbuhan padi dan aneka benih varitas lokal lainnya.

Berladang dalam tulisan ini dimengerti sebagai praktik bercocok tanam yang berkearifan lokal, berdasarkan adat istiadat dan hukum adatnya dengan aneka benih lokal.

Orang Dayak Bakatik, yang miliki sebaran paling banyak di daerah Kab. Bengkayang, misalnya mengenal uma’ mototn yang berlokasi di dataran tinggi. Uma’ adalah ladang yang berlokasi di dataran rendah atau sedang. Kemudian taya’ adalah jenis ladang khusus untuk lahan yang ditanami aneka jenis sayuran, baik labu, aneka jenis bayam, palawija, sawi kampung, dan lain-lain.

Padi biasa dan padi pulut ditanam di ladang, baik di uma’ maupun di uma’ mototn, yang di sela-selanya ditanam juga tanaman lain seperti jagung, aneka jenis labu, aneka jenis timun, dan lain-lain.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *