MASYARAKAT ADAT DI UJUNG TANDUK
GAWAT! Itulah gambaran tentang kondisi kekinian yang dihadapi oleh kurang lebih 70 Masyarakat Adat (MA) diseantero Nusantara. Kenapa demikian? Dan apa penyebabnya? Apa yang mesti MA lakukan dalam memperjuangkan nasibnya?
Seperti peribahasa sudah jatuh tertimpa tangga, begitulah nasib yang dihadapi MA. Apa pasalnya? Adalah Rancangan Undang-Undang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (RUU PPMHA) sebagai salah satu penyebabnya. Isi dari RUU tersebut berpotensi tidak memihak kepada MA. Ketidakpahaman Pemerintah terhadap arti dan peran dari MA itu sendiri justru menambah penderitaan yang terus-menerus bagi eksistensi MA di negara ini. Misalnya, pemerintah melalui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia, bersikukuh bahwa MA adalah masyarakat hukum adat sesuai dengan pasal 18 b Undang-Undang Dasar 1945.
Memasuki tahun 2012, Balegnas mulai bekerja dengan membentuk tim peneliti dan menyusun RUU PPHMA. Secara resmi Pengurus Besar (PB) AMAN pusat melalui Sekretaris Jenderal (Sekjen), Abdon Nababan, telah menyerahkan draf RUU usulan kepada ketua DPR RI Marzuki Alie, pada pembukaan Kongres AMAN Ke- IV, di Tobelo, Kab. Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara, pada 19 April 2012 lalu. AMAN berharap agar pihak legislatif menindaklanjuti dan mempelajarinya, untuk kemudian menerima serta mengesahkannya. Draf tersebut merupakan rancangan yang dibuat dan disusun oleh AMAN selama dua tahun lebih.
Hingga kini tim dari Balegnas sudah melakukan konsultasi publik terkait RUU ini ke delapan daerah, diikuti dengan kegiatan rapat dengar pendapat. Penelitian dan wawancara kepada para tokoh adat dan penggiat tentang MA yang ada di Indonesia juga telah dilakukan. Namun ternyata RUU versi Balegnas tersebut justru kontroversial dengan keinginan MA. Salah satunya, menurut RUU dari Balegnas tersebut, yakni terminologi masyarakat hukum adat, padahal menurut Masyarakat Adat, terminologi tersebut ruangnya sangat sempit, sehingga tidak menjawab persoalan.
Inilah yang menjadi salah satu perdebatan dan kritik dari Masyarakat Adat. Bahkan, dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) beberapa waktu lalu di Pontianak, pihak Balegnas tidak mengundang pihak yang berkompeten dibidang MA. AMAN Kalbar tidak diundang dalam pertemuan tersebut. Ini menjadi pertanyaan berbagai kalangan khususnya NGO, masyarakat sipil maupun unsur lainnya. Untuk itu, demi memperjuangkan hak-hak MA dan memberikan masukan terhadap RUU versi Balegnas tersebut, AMAN Kalbar menggelar diskusi di Hotel Merpati, pada awal Desember 2012 lalu. Diskusi tersebut menghadirkan Arifin Saleh Monang dari AMAN Pusat, serta akademisi Untan, Salfius Seko. Dalam diskusi tersebut dibahas kritikan dan masukan terkait RUU versi Balegnas. Hasilnya diserahkan kepada AMAN pusat yang akan meneruskannya kepada Balegnas DPR RI.
Kenapa Harus Ada RUU Masyarakat Adat?
Jika direview kembali, latar belakang lahirnya RUU ini adalah karena negara masih belum sepenuh hati mengakui MA secara tegas. Selama ini negara maupun korporasi lainnya secara nyata, sudah memaksakan nilai-nilai, mengambil alih wewenang, merampas wilayah, memaksakan pembangunan yang tidak sesuai, mengambil hak atas tanah serta sumber daya alam, sehingga menghalangi MA untuk berdaulat, mandiri dan bermartabat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Menurut Monang dari AMAN pusat, RUU PPMA semestinya harus benar-benar mengakomodir seluruh kepentingan MA. Monang pun kemudian menjelaskan tiga hal terkait alasan mengapa Undang-undang ini harus ada, yakni: pertama, RUU PPMA adalah mandat dari UUD 1945 pasal 18 b yang mewajibkan untuk menterjemahkanya dalam UU; Kedua, UU PPMA sangat penting bagi MA untuk menyelesaikan persoalan konflik yang terjadi antara MA, baik dengan pemerintah atau swasta terkait pengelolaan sumber daya alam, tanah dan lainnya; Ketiga, UU PPMA merupakan tanggungjawab negara terhadap pengabaian hak-hak MA itu sendiri. Itulah alasan MA kemudian mengusulkan RUU PPMA. Bahkan Monang berharap agar kedepannya RUU yang berasal dari MA ini segera disahkan. Menurutnya, pemerintah mesti menerima usulan-usulan dari MA. “Kedepannya agar RUU PPMA disahkan dan menerima usulan yang dirumuskan MA sendiri,” ujar Monang.
“Kalau pun terjadi hal seperti yang dikhawatirkan ini. Masyarakat Adat yang bergabung di AMAN sudah siap dan sudah bersepakat untuk memboikot tidak akan memilih partai tersebut di Pemilu 2014 nanti.” Abdon Nababan, Sekjend PB AMAN
Pada dasarnya RUU PPMA merupakan upaya untuk melindungi seluruh jati diri MA yang melekat didalamnya, sehingga adanya legalitas hukum yang diakui oleh negara secara mutlak. Agapitus selaku PLT (Pelaksana Tugas) BPH (Badan Pelaksana Harian) AMAN Kalbar, berpendapat RUU tersebut sangat penting dimana sekarang ini terus terjadinya konflik-konflik yang menimpa MA terutama masalah sumber daya alam. Ia menilai di UU Perkebunan dan Kehutanan, posisi MA begitu lemah, akibatnya sering terjadi kriminalisasi terhadap masyarakat yang mempertahankan tanah leluhurnya. Jika kemudian UU ini tidak diakomodir maka posisi MA akan semakin susah. Aga juga mengajak agar MA, NGO, serta unsur masyarakat sipil lainnya, bersama-sama mendorong dan mengkritisi RUU versi Balegnas sehingga akhirnya akan berpihak kepada MA. “Untuk itu kita perlu mengkritisi bersama beberapa pasal yang ada dalam UU ini. Apa yang kita mau dari UU ini terkait pengakuan dan perlindungan MA bisa terakomodir,” tegas Aga saat pembukaan diskusi beberapa waktu lalu.