Catatan Obral Lahan Para Presiden untuk Korporasi

1.427 Views

Bila dirincikan, untuk PBPH Alam (HPH) 61,7 juta ha, PBPH Tanaman 4,3 juta ha, pelepasan kawasan hutan untuk sawit 2,9 juta ha dan tambang 9,8 juta ha.

Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menempati urutan kedua Presiden yang terbanyak memberikan lahan kepada korporasi. Walau hanya berkuasa selama 10 tahun, SBY menyerahkan penguasaan lahan seluas 55 juta ha kepada korporasi. Dengan rata-rata sekitar 5,5 juta ha lahan ia obral kepada korporasi tiap tahunnya selama 10 tahun.

Rinciannya 11,9 juta ha untuk PBPH Alam, sekitar 6 juta ha untuk PBPH Tanaman, 2,1 juta ha kawasan hutan dilepaskan untuk perkebunan sawit, dan 35 juta ha untuk pertambangan.

Bisa jadi karena hanya sebentar berkuasa, 2-3 tahun, rezim Habibie, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, dan Megawati tidak terlalu banyak memberi penguasaan lahan kepada korporasi.

Presiden B.J. Habibi hanya sekitar 2 juta ha, terdiri dari PBPH Alam 1,6 juta ha, PBPH Tanaman, 118 ribu ha, pelepasan kawasan hutan untuk sawit 284 ribu ha dan tambang 5 ribu ha. Habibie bahkan tercatat menutup pabrik pulp Indorayon Inti Utama (kini Toba Pulp Lestari) karena mencemari lingkungan dan ditolak masyarakat setempat.

Presiden keempat, Abdurrahman Wahid menjadi presiden paling sedikit memberikan lahan kepada korporasi, totalnya hanya 1,6 juta ha, yang terdiri dari 1,3 juta ha untuk PBPH Alam, 113 ribu ha PBPH Tanaman dan pelepasan kawasan hutan untuk sawit seluas 107 ribu ha. Gusdur tercatat tidak memberikan lahan untuk korporasi tambang.

Kemudian luas lahan yang diberikan Presiden Megawati kepada korporasi mencapai angka 2,6 juta ha. Rinciannya, 1,3 juta ha untuk PBPH Alam, 417 ribu ha untuk PBPH Tanaman dan 927 ribu ha untuk pertambangan. Akan tetapi Presiden Megawati membukukan catatan kritis, selain menghidupkan kembali pabrik Indorayon, ia juga membolehkan penambangan di hutan lindung kepada korporasi tertentu.

Undang-Undang Kehutanan (UU 41/1999) yang disusun dan disahkan pada era Habibie telah membatasi kegiatan pertambangan di dalam kawasan hutan, yakni hanya membolehkannya secara terbatas di dalam hutan produksi dan tambang tertutup (underground mining) di hutan lindung.

Namun, oleh rezim Megawati terbit peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu 1/2004) sehingga perusahaan-perusahaan tertentu dibolehkan menambang secara terbuka (open pit) di dalam hutan lindung. Berbasis Perppu ini Megawati kemudian menerbitkan Keppres 41/2004 yang membolehkan 13 korporasi menambang di dalam hutan lindung seluas 927.648 ha (dari total luas izin 6.257.640.49 ha).

Meski dalam masa kampanyenya, dan bahkan mencatat secara formal pengalokasian penguasaan lahan kepada rakyat berupa perhutanan sosial (12,7 juta ha) dan reforma agraria (5 juta ha), ternyata yang dilakukan rezim Joko Widodo cenderung sebaliknya.

Hingga saat ini, pemenuhan janjinya tersebut hanya sekitar 2 juta ha (atau 11 persen dari total janjinya), sementara alokasi lahan yang diberikan rezimnya ke korporasi hampir mencapai 8 juta ha. Terdiri dari 2,6 juta ha PBPH Alam, 3,1 juta ha PBPH Tanaman, 598 ribu ha pelepasan kawasan hutan untuk sawit dan 1,6 juta ha untuk pertambangan.

Jokowi sendiri baru 8 tahun berkuasa, sehingga masih punya waktu 2 tahun lagi menuntaskan periode kepresidenannya. Persoalannya, 2 tahun terakhir tersebut akan berupa tahun elektoral, baik pusat maupun daerah, yang biasanya justru ditandai dengan hujan izin. (*)

Artikel yang sama telah dipublikasikan pada Jumat, 28 Oktober 2022 di media online:  https://betahita.id/news/detail/8084/catatan-obral-lahan-para-presiden-untuk-korporasi.html?v=1667473402]. Tanggung jawab atas seluruh isi tulisan ada pada https://betahita.id.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *