29 TAHUN INSTITUT DAYAKOLOGI: REFLEKSI MANDAT, KARYA DAN GLOKALISASI
20-an wajah yang kenal tampak di layar laptop saya. Kamis (21/5), pukul 16:00 Wib, sedang berlangsung ibadat syukur untuk 29 tahun Institut Dayakologi (ID). Doa dipimpin Frater Vascalis Risci Ariyan dari ruang lantai 3 kantor ID, Pontianak. Di ruangan itu ia ditemani 4 pengurus ID. Acara difasilitasi perangkat IT yang ditayang langsung secara virtual untuk memberikan kesempatan bagi yang mau ikut dari tempatnya masing-masing. Beberapa aktivis, tim sekretariat dan IT ikut berdoa dari ruang berbeda. Ada pak Albert Rufinus (Direktur IDRD periode pertama, 1991-1994), pimpinan YKSPK yaitu A.Twiseda Mecer dan Maria Gina Karmina, yang turut berdoa dari rumah masing-masing. Aktivis yang sedang berada di Sekretariat Tanjung (Ketapang) dan Tampun Juah (Sanggau) juga turut berdoa dari sana. Dalam kesempatan terbatas untuk saling bertemu demikian, mereka bersyukur dan merefleksikan tema “Bangkit dan Bersatu dalam Solidaritas Kemanusiaan Sejati”. Tema yang relevan karena bertebatan dengan hari Kenaikan Isa Almasih tahun ini tanggal 21 Mei—sama dengan hari lahir ID 29 tahun silam.
Berikut KR menurunkan tulisan singkat tentang refleksi 29 tahun ID, yang disampaikan oleh Direktur Eksekutif ID, Krissusandi Gunui’. Seorang Sejarawan Inggris, Arnold Toynbee (1889-1975), pernah mengatakan, “Peradaban besar tidak dibunuh. Mereka mencabut nyawanya sendiri”. Gunui’ ingin mengatakan bahwa peradaban itu berkembang dan mati ada di tangan manusia. Bukan pada peradaban itu sendiri. Manusia mampu menciptakan dan terus menciptakan. Untuk itu, manusia melembagakan segala rencana dan daya upayanya demi membentuk dirinya, mengubah masyarakat dan menciptakan peradaban.
Sejak berdiri resmi pada 21 Mei 1991 lalu, ID bersama Gerakan Pemberdayaan Pancur Kasih (GPPK) meletakkan fondasi sekaligus posisinya sebagai wadah perjuangan bersama Masyarakat Adat ‘Dayak’, Komunitas Lokal dan Masyarakat tertindas pada umumnya agar bangkit dan mampu menentukan dan mengelola kehidupan dalam kebersamaan dengan semagat cinta kasih hingga bermartabat secara Sosial Budaya, Mandiri secara ekonomi, Berdaulat secara Politik dan Berkesinambungan.
Visinya itu memiliki dasar historis yang penting, di mana keterpurukan identitas budaya dan penetrasi pengaruh budaya modern dan pembangunanisme telah mengancam harkat dan martabat Masyarakat Adat Dayak. Padahal, suatu identitas dan martabat akan sangat menentukan masa depan dan eksistensi Dayak masa depan.
Mandat, karya dan glokalisasi
ID melaksanakan mandat revitalitasi dan advokasi kebudayaan Dayak demi menegakkan dan menegaskan identitas ke-Dayak-an, sebagai representasi dari Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal di dunia, agar memilki harkat, derajat dan martabat yang setara dengan kelompok masyarakat umumnya di Indonesia dan dunia. Tantangan yang dihadapi tidak ringan, karena dinamika kebudayaan semakin dipengaruhi oleh sikap mental pragmatisme atau budaya instan sebagian kalangan elite yang senang memanfaatkan politik identitas sehingga tak jarang memicu konflik-konflik kepentingan di antara berbagai kelompok. Mereka juga cenderung melibatkan para pengikutnya dari kalangan masyarakat akar rumput.
Tantangan pergeseran nilai budaya akibat tergerusnya sumber-sumber identitas budaya dan semakin jauhnya generasi milineal dari akar budayanya dewasa ini menuntut reposisioning lembaga ID—dari yang semula lebih pada kerja-kerja revitalisasi, advokasi, riset dan tekad menjadi pusat informasi kebudayaan Dayak—ke posisi sebagai Pusat Advokasi dan Transformasi Kebudayaan Dayak serta Masyarakat Adat umumnya di Kalimantan. Haluan posisi gerakan kebudayaan ini setidaknya telah dinyatakan sejak tahun 2018. Dalam konteks ini, satu kebanggaan ID bersama GPPK yaitu konsepi mengenai revitalisasi budaya melalui gerakan pemberdayaan holistik yang aplikatif sehingga bisa berkontribusi langsung bagi komunitas adat di tingkat basis, kelompok masyarakat sipil dan jaringan CSO, pemerintah hingga jaringan internasional.
Pemberdayaan holistik Komunitas Tiong Kandang (Ketemenggungan Tae) dan Komunitas Tampun Juah (Ketemenggungan Sisang, Bi Somu dan Iban Sebaruk), Kabupaten Sanggau menuai hasil bisa dibanggakan. Pada penghujung 2018, dua entitas masyarakat adat tersebut, selain masyarakat adat dan wilayah adatnya diakui dan dilindungi secara legal formal oleh Negara melalui Pemda Kabupaten Sanggau dan Keputusan Bupati Sanggau, hutan adat Ketemenggungan Tae dan Tembawang Tampun Juah juga memperoleh penetapan dari Menteri LHK. Sepenuhnya kedaulatan atas wilayah adat, berikut hutan, tanah dan airnya—tempat bergantungnya kelangsungan kehidupan sosial, budaya, religi, ekonomi dan politik dua komunitas tersebut—telah dikembalikan kepada masyarakat adat Ketemenggungan Tae, Ketemenggungan Sisang, Bi Somu dan Iban Sebaruk.
ID memperkuat kerja-kerja glokalisasi atau upaya-upaya yang mengkontribusikan nilai-nilai kearifan budaya lokal kepada peradaban dunia universal. Upaya-upaya meng-universalisasi-kan nilai-nilai kearifan budaya lokal, tapi juga upaya-upaya yang meng-kontekstualisasi-kan nilai-nilai universal kearifan lokal kebudayaan Dayak dalam kondisi kekinian sebagai “jalan baru” dan anti-tesis globalisasi.