Koalisi Organisasi Masyarakat Adat dan Masyarakat Sipil Menyampaikan Laporan ke PBB dan Menolak Segala Ancaman terhadap Hak Masyarakat Adat di Kalimantan

1.690 Views

Pontianak, KR

Koalisi Organisasi Masyarakat Adat dan Masyarakat Sipil Menyampaikan Laporan kepada Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial, Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN-CERD) dan Menolak Segala Ancaman terhadap Hak Masyarakat Adat di Kalimantan.

Melalui Siaran Pers Bersama yang dirilis dalam 2 bahasa tersebut, disebutkan bahwa pada tanggal 9 Juli 2020, empat belas (14) organisasi Masyarakat Adat dan HAM di Indonesia bersama Forest Peoples Programme telah menyampaikan laporan kepada Komite PBB tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial (UN-CERD) yang meminta agar Komite tersebut mempertimbangkan situasi masyarakat adat Dayak dan masyarakat adat lainnya di Kalimantan, Indonesia, di bawah prosedur peringatan dini dan tindakan segera Komite CERD.

Laporan ini menyoroti kerugian-kerugian besar yang menimpa masyarakat adat untuk pembangunan jalan dan, perkebunan dan pertambangan di sepanjang perbatasan Indonesia-Malaysia, yang semuanya membawa ancaman kerusakan segera, besar dan tidak dapat diperbaiki terhadap orang Dayak dan masyarakat adat lainnya di wilayah tersebut. Daerah ini kebetulan juga adalah wilayah leluhur dari 1-1,4 juta masyarakat adat Dayak. Beberapa komunitas telah dipindahkan secara paksa dan diperkirakan 300.000 warga adat lainnya terancam penggusuran. 

Foto udara perkebunan kelapa sawit pertama masuk perbatasan Kabupaten Mahakam Hulu, Kalimantan Timur (Angus MacInnes, 2017).

Laporan tersebut dibangun di atas laporan sebelumnya yang diajukan oleh sekelompok masyarakat adat dan organisasi masyarakat sipil ke Komite CERD PBB pada tahun 2007. Menanggapi bukti yang disajikan, Komite CERD PBB mencatat: “dengan keprihatinan pada rencana untuk membangun perkebunan kelapa sawit di sepanjang lebih dari 850 km perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan sebagai bagian dari [Mega Projek KBOP], dan ancaman yang ditimbulkannya terhadap hak-hak masyarakat adat untuk memiliki tanah mereka dan menikmati budaya mereka.”

Namun, Indonesia tidak hanya bersikeras dengan rencana ini, yang oleh karenanya terus-menerus mengabaikan hak-hak masyarakat adat dalam prosesnya, namun juga baru-baru ini dan secara dramatis meningkatkan ruang lingkup dan intensitasnya dan telah memulai pembangunan jaringan jalan yang luas untuk memfasilitasi perluasan ini. 

Huvat Biseh memeriksa kerusakan oleh perusahaan pembalakan kayu, PT. Kemakmurah Berkah Timber (Roda Mas Group) (Angus MacInnes, 2017).

Belum terlihat ada perubahan dalam kebijakan atau praktik yang terkait dengan operasi perkebunan kelapa sawit atau penebangun mana pun di wilayah tersebut, dan (pembangunan) infrastuktur terkait. Kegawatan situasi ini semakin diperburuk oleh kerangka hukum Indonesia yang memiliki banyak kekurangan karena menyangkut masyarakat adat dan pengabaiannya yang terus-menerus dan mencolok terhadap berbagai keprihatinan dan rekomendasi jangka panjang dari banyak mekanisme pengawasan internasional dan dalam negeri (misalnya, Komnas HAM dan Mahkamah Konstitusi), termasuk Komite CERD PBB. Ini, sekali lagi, mendorong masyarakat adat dan organisasi masyarakat sipil untuk menantang perumusan kembali Mega-Proyek KBOP. 

Koalisi masyarakat sipil – yang semuanya berkerja dengan masyarakat adat di seluruh perbatasan Kalimantan – menemukan pemerintah Indonesia telah gagal untuk mengambil tindakan perbaikan, sejak laporan tahun 2007, dan situasi kian memburuk. Namun, Indonesia mengizinkan situasi ini berjalan terus dan kini mengesahkan dan mendukung pengambilalihan segera atas besar-besaran wilayah adat untuk perkebunan dan konsesi perusahaan lainnya di sepanjang perbatasan Kalimantan beserta kerusakan yang tidak dapat diperbaiki yang akan ditimbulkannya.

Mega Projek KBOP awalnya dirancang untuk membuka 18 perkebunan kelapa sawit terpisah, masing-masing dengan luasan rata-rata 100.000 hektar, di sepanjang perbatasan internasional Indonesia-Malaysia. Mega-projek KBOP tidak disetujui atau digagas secara resmi, antara lain, berdasarkan sebuah keputusan yang menyatakan bahwa diperlukan penelitian-penelitian lebih lanjut. Beberapa penelitian ini menemukan bahwa projek itu akan secara besar-besaran menggusur dan membahayakan masyarakat adat Dayak di daerah perbatasan. Kementerian Pertanian kemudian mengakui bahwa lebih dari 90% wilayah di sekitar perbatasan memang tidak cocok untuk perkebunan kelapa sawit. Meskipun demikian, beberapa tahun kemudian, beberapa perusahaan perkebunan pertama memasuki wilayah perbatasan atas persetujuan Pemerintah Kabupaten dan didukung oleh polisi dan militer.

Perusahaan menggarap wilayah adat leluhur masyarakat Long Isun tanpa persetujuan masyarakat, menghancurkan jalan nenek moyang dan tempat berburu masyarakat (Angus MacInnes, 2017).

Di Kalimantan Timur, sebagai contoh, antara tahun 2012 dan 2016, luas lahan yang diperuntukkan untuk perkebunan kelapa sawit meningkat sebanyak 36% dan kabupaten-kabupaten penghasil kelapa sawit terbesar berada di wilayah perbatasan. Sementara itu jumlah konflik tanah yang tercatat meningkat sangat besar. Laporan ini menyoroti sejumlah studi kasus dari masyarakat yang terkena dampak di seluruh wilayah perbatasan Kalimantan untuk mengarisbawahi hal ini. 

Salah satu contohnya adalah konflik yang sedang berlangsung antara perusahaan kelapa sawit, PT Ledo Lestari, dan masyarakat Dayak Iban Semunying di Kabupaten Bengkayang di mana puluhan keluarga telah dipindahkan, ditempatkan di ‘kamp perusahaan’, hutan dan tanah adat mereka diambil alih perusahaan. 

Bapak Abulipah, Sekretaris Desa dan juga anggota Dewan Adat Dayak Kecamatan, wakil Masyarakat Adat Dayak Iban Pareh Semunying Jaya menyatakan: 

Kami sangat menderita dari konflik-konflik berkepanjangan dengan PT. Ledo Lestari sejak tahun 2004. Sekitar 8000 hektar tanah yang didalamnya termasuk 1420 ha hutan adat, 30 ha lokasi sawah dan 117 ha kebun warga dari 10,418.63 ha seluruh wilayah adat kami telah digusur dan ditanami perkebunan kelapa sawit oleh PT. Ledo Lestari. Kami menuntut semua dan segera pemulihan hak-hak wilayah adat dan hutan adat kami yang telah diambil, digarap dan dikuasai PT. Ledo Lestari tanpa konsultasi maupun persetujuan sebagaimana diakui dan disimpulkan oleh Negara melalui laporan Inkuiri Nasional Komnas HAM tahun 2016.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *