Undang-Undang Kehutanan (UUK), Penuh Jebakan!


“Dari aspek pendekatan politik pemerintahan secara makro dan direfleksikan ke dalam politik sumber daya hutan, maka UU kehutanan ini sangat dipengaruhi oleh paham politik korporatisme, di mana semua bentuk pengurusan dan pengaturan hutan berada di satu tangan pemerintah pusat…”
(Kajian akademis terhadap UU Kehutanan, dalam buku Inkonsistensi UU Kehutanan yang disusun oleh Fakultas Kehutanan UGM pada tanggal 11 November 1999)
Oleh: Abdias Yas
Undang-Undang Kehutanan No. 41 tahun 1999 menggantikan Undang-Undang No. 5 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Kehutanan tidak membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Hal ini terlihat sejak awal yakni pada konsideran menimbang, Undang-Undang ini tidak menetapkan landasan yang jelas tentang perubahan ke arah mana yang ingin diwujudkan. Karena ketidakjelasan landasan filosofis, maka akhirnya undang-undang ini hanya penuh dengan ketidakjelasan dan jebakan-jebakan saja.
Jebakan itu mulai bisa ditemui pada Pasal 1 ayat (6) yang kemudian diperkuat lagi pada pasal 5 ayat (2) yang menyebutkan bahwa hutan negara ada di dalam wilayah hutan Masyarakat Adat. Pasal ini selain memunculkan dualisme pengaturan, yakni pengaturan hutan negara menurut aturan negara, dan pengaturan hutan adat menurut hukum adat, juga memunculkan persepsi bahwa semua orang yang berkewarganegaraan Indonesia, memiliki hak atas hutan tersebut asalkan diberikan hak oleh negara. Terjadilah penyerobotan hutan oleh orang-orang luar yang sama sekali tidak memiliki hubungan atau ikatan historis dengan hutan. Dengan bertamengkan izin pemerintah, mereka dengan leluasa mengeksploitasi hutan, bahkan di hutan adat sekalipun.
Kemudian, penggunaan berbagai istilah seperti pasal 1 ayat 4 sampai ayat 12 merupakan strategi penguasaan hutan masyarakat oleh Negara dengan dalih Konservasi seperti Taman Nasional, Hutan Lindung dan sebagainya. Penguasaan hutan dengan dalih konservasi (Green Grabbing) saat ini sudah tampak jelas. Skema REDD dalam prakteknya sudah digunakan untuk memuluskan program-program yang jika ditelisik lebih jauh adalah penjualan hutan masyarakat dengan tidak mengeksploitasinya. Tentu saja ini lebih parah karena masyarakat sama sekali tidak mampu mendeteksinya.
Hutan dalam Cengkraman Negara
Kekuasaan Negara sangat besar diberikan oleh undang-undang nomor 41 tahun 1999. Negara memposisikan dirinya sebagai otoritas tunggal penguasa hutan, yakni sebagai penguasa tanah hutan, pengusaha hasil hutan, sekaligus institusi yang bertanggung jawab atas pelestarian hutan. Besarnya kewenangan pemerintah yang diberikan lewat pasal 4 UUK 41/99, membuat Pemerintah Kabupaten dalam kurun waktu tahun 2000-2003 berlomba mengeluarkan kebijakan untuk eksploitasi hutan melalui HPHH 100 ha yang diberikan kepada koperasi. Berdasarkan data yang dimuat Majalah Kalimantan Review No. 97/September 2003, terdapat 944 unit HPHH 100 Ha. Artinya terjadi penebangan hutan seluas 94.400 ha setiap tahunnya oleh HPHH. Tentu saja, hal yang sama juga terjadi di provinsi lainnya di Indonesia. Akibatnya, bencana banjir dan longsor tak terelakan. Data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), menyebutkan bahwa pada tahun 2006 saja, terjadi 59 kali bencana banjir dan longsor yang memakan korban jiwa 1.250 orang, merusak 36 ribu rumah dan menggagalkan panen di 136 ribu hektar lahan pertanian. Walhi juga mencatat kerugian langsung dan tak langsung akibat banjir dan tanah longsor rata-rata sebesar Rp. 20,57 triliun setiap tahunnya, atau setara dengan 2,94% dari APBN 2006. (walhi dalam www.walhi.or.id)
Posisi Masyarakat Adat
Dalam Legal Opinion yang disusun oleh Elsam, LRA dan Bantaya (2001) menyebutkan bahwa dalam perkara mengatur Masyarakat Adat (MA), ada asumsi yang dipakai oleh barisan kelompok penyusun UUK, yakni bahwa Masyarakat Adat harus dicurigai, khususnya berkenaan dengan dua hal. Pertama, kemungkinan Masyarakat Adat untuk melakukan serangkaian aktivitas di dalam dan di luar kawasan hutan yang berpotensi merusak kelestarian atau fungsi ekosistem hutan. Kedua, kemungkinan Masyarakat Adat akan melakukan penggerogotan terhadap hutan-hutan yang sudah dinyatakan sebagai kawasan hutan negara. Dua asumsi yang bernada kecurigaan ini menjadikan pengaturan pengakuan terhadap Masyarakat Adat bersifat bersyarat dan justru mementahkan kehendak awalnya untuk mengakui hak-hak adat.
Ke depan, semestinya pengakuan terhadap keberadaan Masyarakat Adat tidak memerlukan syarat, termasuk syarat untuk tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Dalam hal ini, hak Masyarakat Adat atas sumberdaya hutan harus dianggap juga sebagai bagian dari kepentingan nasional, bukannya berada di luar kepentingan nasional. Hendaknya pengaturan mengenai keberadaan Masyarakat Adat diatur dengan UU tersendiri (Naskah Akademik revisi Undang-undang 41 tahun 1999 oleh Koalisi untuk Perubahan Kebijakan Kehutanan, 2008). Itulah mengapa Rancangan Undang-undang Perlindungan dan Pengakuan Hak-hak Masyarakat Adat (RUUPPHMA) mesti segera diundangkan.***