“DEMI MENAPAK DAN MENATAP HARI DEPAN YANG CEMERLANG”

1.247 Views

Lihat juga: https://kalimantanreview.com/tanah-dayak-daerah-antropogenik-tanggapan-terkait-ibu-kota-nusantara-ikn/

Betapapun meski ada kritisi pendapat pengamat yang menandai atas narasi para narasumbernya yang memakan waktu durasi sekitar satu seperempat jam itu, dianggap terlalu banyak dan panjang. Namun bagi saya dari segi artistik cukup bagus dan menarik. Sebagai suatu hasil karya sinematografi yang cukup optimal.

Memang begitulah kebanyakan film dokumenter. Narasi-narasi para narasumber merupakan andalan utama untuk memperjelas dengan lebih tegas tentang gambaran peristiwa masa lalu. Di mana tanpa terhindarkan oleh sebab berbagai faktor, relatif telah menjadi kabur, samar dan bahkan kadang terhapus secara visual.

Saya salut atas semangat jiwa muda dan keberanian kreativitas kerja yang dengan bebas memainkan kamera film mereka secara inspiratif. Ini mengingatkan kepada masa muda kami dulu, ketika masih kuliah di ASRI. Setelah kami mendirikan Sanggar Bumi Tarung (SBT), di tahun 1960-an. Kami suka melakukan kerja tekun sekaligus kerja kobar yang guyub dan penuh gairah, seperti mereka sekarang.

Lihat juga: https://kalimantanreview.com/budaya-damai-orang-dayak-dan-tantangannya/

Namun dengan demikian, bukan berarti saya tidak menyambut secara antusias atas pembahasan diskusi oleh para pembicara sebagai narasumber. Apresiasi dan ucapan terima kasih saya – Misbach Tamrin sampaikan, yang menjadi lokus dalam pembahasan diskusi malam itu.

Atas penulisan buku biografi dan katalog besar yang dihimpun oleh Hajrian Syah dan Yaksa Agus, saya juga sangat berterimakasih atas banyak pendapat para narasumber yang kaya dengan berbagai wawasan dan gagasan yang positif.

Terutama atas kehadiran kawan lama saya selaku seorang narasumber dari  Palangka Raya, Kalteng, Kusni Sulang. Kami berdua sebenarnya adalah senasib dan seperjuangan dalam peristiwa ’65. Telah menjadi korban yang sama secara politik, meski berbeda geografi tempat keberadaannya. Kami berdua adalah teman lama, yang sama-sama menghabiskan masa remaja di Yogyakarta kala itu.

Sementara saya terdampar selama 13 tahun sebagai “tapol” rezim Orde Baru, Kusni Sulang selaku “eksil” terlunta melanglang buana di manca negara dan sempat tinggal di kota Paris selama 30 tahun. Hingga kemudian kembali ke tanah air, pulang kampung di daerah kelahiran bumi Dayak. Bagaikan burung enggang terbang pulang ke sarangnya.

Demikianlah perhelatan diskusi dan pemutaran film dokumenter pada malam itu yang merupakan puncak misi perjalanan kerja maraton kawan-kawan dari komunitas Akademi Bangku Panjang Minggu Raya (ABPM) Banjarbaru. Kerja kawan-kawan ditunjang oleh tim riset dan tim shooting film dokumenter dari Dokumentasi Karya Pengetahuan Maestro (DKPM), selama beberapa bulan.

Ini berarti telah mencapai sukses fenomenal di titik kulminasi yang diidamkan. Untuk mencapai hasil target kemasan kerja bersama yang sesuai dengan program pemerintah di bidang kebudayaan. Sekaligus sebagai tumpuan tonggak “pembelajaran”, terutama bagi kebangkitan semangat maju generasi muda dalam meneruskan kesinambungan perjuangan di bidang kebudayaan. Demi lebih mencerdaskan dan mencerahkan bangsa ke depan….* Banjarmasin, 22 Juli 2024.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *