Dari Padula Italia Menyusur Sungai dan Belantara Tanah Dayak sejak 1974: Pengabdian Panjang Seorang Imam Misionaris CP

3.168 Views

Menjadi WNI dan Berkarya di Antara Orang Dayak

Aku telah mendapat kewarganegaraan Indonesia pada tanggal 24 Januari 1985, terhitung sudah 35 tahun lebih yang lalu. Selama 46 tahun di tanah Kalimantan, aku telah menggunakan waktu secara terus-menerus dan tidak terasa, tahun demi tahun, mengunjungi umat di mana saja mereka berada, baik di kampung-kampung besar maupun di tempat sepi. Kabar gembira tetap diwartakan dalam kondisi cuaca apapun, sabda Tuhan tetap diprioritaskan sebagai tugas utama dalam hidupku.

Pulau Borneo adalah pulau nomor 3 yang terbesar di dunia. Iklimnya panas-lembab menjadi ujian bagi orang yang hidup di Kalimantan. Bagiku hal ini “No Problem”, sebab sejak kecil sudah biasa menggembala di hidup yang sulit. Pengalamanku sebagai gembala domba telah membentuk diri pribadi untuk selalu bersikap tahan dalam segala kesulitan hidup dan menyesuaikan diri dengan segala keadaan sekalipun serba sulit. Segala jenis makanan, apapun itu yang diberikan kepadaku itu, semua “No Problem” untuk menjadi santapan. 

Sejak awal aku hidup di Tanah Kalimantan, aku terjun secara total dalam kerasulan melalui turne berturut-turut dalam situasi apapun. Dalam turne itu yang menjadi prioritas dan fokus utama adalah menggerakkan segenap tenaga dan fisik untuk menggunjungi umat melalui turne berkelanjutan.

Selama 15 tahun, aku menjelajahi seluruh daerah Sungai Belitang Hulu – Belitang Hilir sampai dekat perbatasan Sarawak, dan selama 25 tahun aku menelusuri pelosok-pelosok daerah Sungai Menterap, Sungai Kerabat dan Sungai Sekadau. Bahkan seluruh daerah Suku Taman, hingga tanah Meliau dan itu juga sebagian dari Keuskupan Sintang. 

Kini sudah hampir 6 tahun aku bertugas di Paroki Sungai Ambawang yang berpusat di Lingga (Keuskupan Agung Pontianak). Kunjungan umat di daerah-daerah sebelumnya, dilaksanakan terus-menerus dengan jalan kaki, kecuali di Paroki Sungai Ambawang yang adalah daerah banyak Sungai.

Sejak semula, masuk di Tanah Kalimantan, aku sudah tertarik sekali dengan hidup orang Dayak yang mirip seperti kehidupan di waktu aku masih kecil, persis di Kampung Halaman, Padula yang letaknya sekitar 200 KM dari Roma. Dulu pada tahun 70an-80an, ketika musim kemarau dan musim hujan masih tetap stabil dan teratur. Jadi, pada musim hujan, tetap hujan dan pada musim kemarau tetap kemarau. Di dalam kedua musim ini, umat di kampung-kampung tetap dikunjungi tanpa syarat dan dalam situasi apapun. 

Aku merasa dikhususkan, terpanggil untuk mewartakan Sengsara Yesus di antara Suku Dayak. Di tahun-tahun kehidupanku sebagai Missionaris, aku telah berjalan tanpa lelah dan mengalami segala bahaya yang tersembunyi di rimba belantara. Aku dapat merangkumnya dengan baik. 

Menaklukkan Tantangan, Mengasah Dedikasi 

Seluruh hidupku selama di tanah Borneo ini terangkum dengan dua kata saja yaitu Ransel dan Hutan Belantara, ini berarti “angkat ransel dan berangkat turne”. Segala tantangan dalam hidupku sebagai missionaris tidak menyurutkan semangatku. Namun kerasulan mengandung sengsara; “Jarak yang jauh antara kampung-kampung, lumpur setinggi lutut, mengigil karena demam malaria, lapar, sakit perut, kelelahan, sesat dalam perjalanan, hujan lebat, berjemur – disertai tifus, perut yang memberontak, bahaya ular berbisa, bahaya banjir yang dalam dan berkelanjutan, bahaya karam di sungai Kapuas, biasa lesu tetapi tidak hilang asa, biasa putus asa dan kesepian. Dalam semuanya ini semangatku untuk merasul tetap bertahan, bahkan tidak meninggalkan tekad untuk mewartakan Injil.

Dalam segala hal tersebut, aku merasa terkesan dengan hidup Paulus dari Tarsus yang oleh Injil melakukan segala-galanya. Menderita segala-galanya, mengorbankan segalanya, mengunjungi segala sudut dunia di mana orang belum mengenal Yesus Kristus. Rasul Paulus pada akhir hidupnya berkata: “Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman,” (2 Tim 4,7). Rasul Paulus adalah seorang pejuang yang gigih, penjelajah tanpa kenal lelah, pembalab tangguh yang telah mencapai garis finish. Seluruh hidup Rasul Paulus adalah seperti seorang Petani Maraton, yang berlari untuk mewartakan Injil di mana saja. “Cinta Kasih memerlukan Hati Yang Tahan Uji”.

Dalam tugas perutusanku di Kalimantan, perjumpaan pribadiku dengan Yesus Kristus lebih meningkat karena Roh Kudus yang mendampingiku dalam pewartaan Injil di antara Suku Bangsa Dayak. Puji Syukur kepada Tuhan yang Maha Baik karena telah membimbing langkah-langkahku selama ini, melalui segala “Jalan Tikus” di Borneo. 

Selama bertugas di Kalimantan Barat, aku telah menerimakan sakramen permandian kepada 12.100 orang. Sedangkan misa kudus yang telah kupersembahkan selama 50 tahun ini sebanyak 19.129 kali. Memoar ini merupakan rangkuman cuplikan 46 tahun pengalamanku berkarya sebagai misionaris CP dari Kongregasi Passionis yang bertugas di Kalimantan Barat.

Pastor Pietro di Vincenzo yang kerap kali dipanggil dengan nama Pastor Petrus, CP dari Kongregasi Passionis bertugas di Kalimantan Barat.

Tulisan ini pernah dimuat di https://pontianak.tribunnews.com/2020/09/09/kisah-pastor-petrus-cp-sang-misionaris-ransel-dan-rimba (9/9/2020) oleh Samuel, Jurnalis Majalah Duta Keuskupan Agung Pontianak dengan judul “Kisah Pastor Petrus CP, Sang Misionaris Ransel dan Rimba”. Tim KR melakukan penyuntingan seperlunya saja.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *