Dari Padula Italia Menyusur Sungai dan Belantara Tanah Dayak sejak 1974: Pengabdian Panjang Seorang Imam Misionaris CP
Penulis: P. Pietro di Vincenzo, CP. Foto: Samuel. Editor: Tim KR.
Artikel ini memiliki nilai sentuhan humaniora, tentang perjuangan hidup sejak kecil hingga menjadi seorang imam yang penuh dedikasi di tengah banyaknya tantangan – diambil dalam momen kata sambutan 50 Tahun Imamat Pastor Petrus, CP di Lingga 15 Agustus 2020 – sebuah kenangan yang dimulai dari Padula, Italia, pada 15 Agustus 1970 silam, yang dirangkumnya dalam 2 kata, “Ransel dan Hutan Belantara”. Tim menyajikannya berikut ini.
Aku berasal dari keluarga yang terlahir atas 7 bersaudara; 5 laki-laki dan 2 perempuan. Dari 7 bersaudara itu, aku adalah anak yang bungsu. Keluargaku merupakan keluarga yang sederhana.
Aku pernah menangis di rumah hanya karena lapar, dan ibuku yang bernama Sesilia pergi ke rumah tetangga untuk meminjam satu buah roti yang kemudian dikembalikan. Kala itu, aku masih berumur 12 tahun, dan sudah menggembalakan domba-domba di pegunungan pada musim panas di daratan dan pulang pada musim dingin di Italia Selatan.
Dari Italia Tengah menuju Italia Selatan, aku berjalan kaki 300 Km lebih untuk mengantar domba-domba. Perjalanan ditempuh selama 3 minggu berturut-turut, demikian juga pada musim semi pada bulan Mei.
Kembali ke pegunungan selama 3 minggu dan masih tetap ditempuh dengan berjalan kaki. Itu aku lakukan dalam keadaan cuaca apapun karena kawanan domba tidak boleh ditinggalkan sendirian. Jika ditingkalkan, maka mungkin saja serigala dan binatang-binatang buas lain akan memangsa domba-domba itu.
Pengalamanku dalam mengerjakan tugas tersebut mengantarkanku pada satu kesimpulan bahwa domba adalah binatang paling jinak di antara segala ternak di dunia. Mungkin itulah mengapa Yesus mengumpamakan diriNya sebagai “Anak Domba Allah”. Itu pula yang membuatku takut, jangan sampai domba-domba ku dicuri pada malam atau siang hari. Hidup dalam keadaan seperti ini menjadikanku selalu waspada dan mulai saat itu ketika malam sudah datang, aku tidur dengan mata sebelah. Semua ini sudah kualami sebelum umur 15 tahun.
Pengalaman seperti ini sangat membantuku dalam hidup yang aku jalani sampai saat ini yaitu menjadi missionaris di Kalimantan di antara suku Dayak yang aku kasihi.
Kala umurku baru genap 15 tahun, aku masuk seminari dan ketika itu tahun ajaran pun sudah 3 bulan dimulai. Secara otomatis dengan sendirinya aku terlambat 3 bulan masuk sekolah SD, karena ayahku tidak melepaskan ku untuk masuk seminari. Maka kelas III SD aku terpaksa meloncat dua kelas sekaligus (kelas IV dan kelas V) dan langsung duduk di bangku kelas VI untuk mengejar teman-temanku.
Perjuangan ini tidaklah mudah, apalagi berusaha dalam studi untuk mengikuti ritme sekolah bersama teman-teman terutama di kelas VI SD. Meskipun kala itu terbilang sulit, namun aku mampu mengejar langkah teman-temanku.
Diperlukan 16 tahun Studi
Untuk menjadi seorang imam diperlukan 16 tahun studi; 6 tahun di SD, 3 tahun di SMP dan 1 tahun di Novisiat, 2 tahun di ilmu filsafat, 3 tahun di ilmu teologi dan 1 tahun untuk spesialisasi tentang ilmu Teologi Parokial. Untuk menjadi seorang imam, sejumlah kurikulum studi harus dikuasai.
Pada tahun terakhir kuliah, aku diberi gelar Drs di Kota Roma tentang ilmu Teologi, yaitu tentang pengetahuan Ketuhanan belajar tentang Kitab Suci. Kemudian pada tanggal 14 Agustus 1970 aku ditahbiskan sebagai imam menurut kehendak Tuhan Yesus.
Selanjutnya setelah 3 tahun lebih dari pentahbisan imam, dan tepat pada tanggal 25 Januari 1974, Pesta Santo Paulus Rasul (Pertobatan Santo Paulus, Rasul) aku berangkat ke Indonesia dengan tempat keberangkatan menuju tanah Borneo. Kala itu, aku turun dari pesawat Garuda di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Jakarta pada pukul 10.00 WIB pagi. Kemudian dari Jakarta, kami 3 orang (2 Pastor dan seorang Bruder) langsung berangkat menuju Singkawang untuk belajar Bahasa Indonesia selama 2 minggu.
Kepada kami bertiga, masing-masing diberi seorang guru, kemudian kami berangkat ke Sekadau, dan 2 minggu kemudian, aku diajak P. Gabriel Ramoc Chiaro, yang adalah seorang pastor dan sudah berpengalaman, lalu kami menuju ke Stasi Pakit, dan kemudian beberapa kali aku berturne bersama dia sembari belajar.
Sesudah itu turne kulakukan dengan perjalanan sendirian untuk mengunjungi umat di kampung-kampung, dan aku telah menjalankannya dengan komitmen yang tak henti-hentinya.