Dari Holiday Inn Jakarta: Kita Sedang Meretas Kembali Jalan
Penulis & Foto: Kusni Sulang | Penyunting: Andriani SJ Kusni
Artikel ini merupakan bahan diskusi sebagai usulan penulis untuk Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Kalimantan Tengah, Adiah Chandra Sari, S. H., M. H. dan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupatan Gunung Mas, Jansli Gonak.
Setelah bertahun-tahun bekerja di daerah perdesaan berbagai kecamatan di Kabupaten Gunung Mas, secara otomatis antara warga desa, pemangku adat, penyelenggara Negara berbagai tingkat mulai dari yang terbawah hingga yang tertinggi di kabupaten pun terjalin. Hubungan yang kemudian menjadi persahabatan, di atas hubungan formal biasa. Dalam setiap akhir suatu kegiatan, para pemuka masyarakat, para penyelenggara Negara kabupaten selalu saja menyempatkan diri hadir sebagai bentuk sokongan simbolik pada kegiatan-kegiatan kami.
Kedekatan ini membuat mereka pun tidak segan-segan meminta bantuan kepada kami. Hubungan akrab yang dibangun dengan pendekatan kebudayaan ini, memudahkan berlangsungnya model penta-helix dalam melaksanakan berbagai kegiatan terutama pelaksanaan Sakula Budaya di daerah perdesaaan. Selain itu, terjalinnya hubungan kerja berprinsip demikian, memberi kemungkinan pekerjaan bersama bisa menjadi lebih produktif dan efektif.
Dengan latar belakang hubungan demikian, suatu malam, Achmady, Kepala Bidang Kesenian Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Gunung Mas, yang selalu hadir langsung dalam kegiatan-kegiatan kami di desa-desa terpencil dan sulit, mengirimi saya WA, langsung meminta tolong.
“Apa yang bisa saya bantu, Pahari (bhs Dayak Ngaju: Saudara sedarah)?”
“Jadi Jubir Kabupaten Gumas menjelaskan apa itu harubuh-manugal dalam sidang penetapan,” katanya.
Saya tertawa mendengar kalimatnya.
“Hapakat Manggatang Utus, Pahari” (Bersatu membuat hidup Dayak bermartabat, Pahari,” jawab saya. “Itu dia sikap Dayak yang benar. Bukan saling hakayau-kulae (saling potong kepala sesama), tapi tolong berikan saya bahan-bahan yang kalian sudah punya tentang hurubuh-manugal.”
Bahan-bahan yang saya minta itu pun dikirimkan beberapa menit kemudian. Apa yang saya terima berupa beberapa foto sederhana tanpa narasi. Melihat bahan-bahan mentah itu, saya berpikir kedalaman pekerjaan yang bagaimana mesti dilakukan. Dialog malam itu saya tutup dengan permintaan agar ada diskusi tingkat Dinas Kabupaten yang diterima dengan senang hati.
Menjelang hari keberangkatan ke Jakarta, saya baru ketahui bahwa Kalimantan Tengah (Kalteng) dalam sidang penetapan warisan budaya tak benda (WBtB) Indonesia tahun ini hanya mengusulkan tiga karya budaya yaitu: harubuh-manugal yang diusulkan oleh Kabupaten Gunung Mas, penggolaran diusulkan oleh Kabupaten Lamandau dan wadi diusulkan oleh Kota Palangka Raya. Sementara Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur mengusulkan ratusan karya budaya dari berbagai kategori. Madura, Bali mengusulkan tidak kalah banyak karya budaya sebagai warisan negeri.