Bayang-bayang Ibu Kota Negara di Kalimantan


Oleh: Giring (Aktif di Gerakan Pemberdayaan Pancur Kaish & Institut Dayakologi)
Di tengah situasi hiruk-pikuk terkait rekapitulasi hasil Pilpres 17 April 2019, rencana pemindahan ibu kota negara ke luar Pulau Jawa kembali bergulir dan berhasil mengalihkan perhatian publik, teristimewa masyarakat dari Kalimantan.
Hal tersebut diawali saat Presiden Joko Widodo memimpin rapat terbatas di Kantor Presiden, Jakarta pada pagi Senin (29/4/2019), dengan agenda membahas pemindahan ibu kota. Hingga beberapa hari ini pun, wacana pemindahan ibu kota masih jadi topik media massa di tanah air.
Jokowi tak lupa mengingatkan perihal perlunya persiapan yang matang: dari aspek lokasi yang tepat, geopolitik, geostrategis, kesiapan infrastruktur pendukung dan pembiayaan. Orang nomor satu di Indonesia tersebut juga berpesan agar kita tak boleh berpikir dalam jangka pendek dan sempit (Kompas.com, 29/4/2019). Pada intinya diperlukan sebuah kajian strategis yang komprehensif tapi historis.
Konon, pembangunan seluruh infrastruktur pendukung ibu kota yang baru itu disebut-sebut tidak akan membebani APBN.
Kurang lebih seminggu wacana pemindahan ibu kota tersebut mendapat respon dari publik. Respon bersifat dukungan ditunjukkan sebagian elite dari 5 provinsi di Kalimantan. Sayangnya nyaris tanpa pikiran kritis, malahan cenderung terjebak pada reaksi sekadar euforia dan bangga.
Bagi kelompok tersebut, pertanyaan kritis tentang rencana lama tapi seolah-olah baru tersebut dianggap sebagai penghambat, bahkan ada yang dicap sebagai penghianat. Itulah yang saya perhatikan di sebuah grup Whatsapp yang beranggotakan sekitar 200-an orang-orang Dayak dari 5 provinsi di Kalimantan (Barat, Tengah, Selatan, Timur dan Utara), dan tokoh-tokoh Dayak diaspora lainnya.
Saking kerasnya debat, dan ketidaksepahaman di grup sosmed itu, tak sedikit di antaranya yang keluar tanpa pamit. Kelompok ini tak ingin segelintir orang Dayak di grup WA itu dipakai untuk melegitimasi persetujuan tanpa kritis, dan kebanggaan yang gegabah atas rencana mega proyek tersebut.
Disebut demikian lantaran belum apa-apa, kelompok elite Dayak itu sudah gembar-gembor menyatakan bangga, tanpa kritis menyambut rencana mega proyek itu.
Artikel singkat ini mencoba memberikan tanggapan atas wacana pemindahan ibu kota Pemerintahan NKRI dari Jakarta ke Kalimantan Timur; di Bukit Suharto yang kajiannya, konon, telah berlangsung 1,5 tahun, Kab. Gunung Mas, dan daerah Segitiga (KalTeng) merupakan 3 daerah nominasi calon area pembangunan ibu kota. Disebut juga, 300.000 hektar luas lahan yang akan diperlukan untuk pembangunan ibu kota.
Wacana pemindahan ibu kota ini sendiri telah menyita perhatian banyak pihak hingga bisa mengalihkan perhatian masyarakat terhadap pro kontra rekapitulasi suara Pilpres kali ini.
Perlu Analisis Risiko Dampak Sosial Budaya, Ekononi, Politik dan Ekologis
Kalimantan, selain luas, juga kaya, dan beranekaragam penduduk, flora dan faunanya. Selain itu, relatif aman dari sisi kebencanaan alam. Kondisi inilah yang (sepertinya) telah menarik Presiden Jokowi dan ibu negara datang mengecek langsung daerah-daerah tersebut.
Di balik ini semua adalah rencana besar, sumber daya besar (baik orang, uang, dan barang/materi pendukungnya), dan perubahan yang dihasilkan juga tentu akan sangat besar–bagi daerah dan Kalimantan serta Negara bangsa Indonesia. “Harga” yang mesti “dibayarkan” untuk rencana besar tersebut juga besar.