Jalan Terbuka Pendidikan yang Memerdekakan

2.773 Views

Gugatan pertama dan utama dari Dr. Francis Wahono adalah bahwa negara harus hadir, berdaulat atas pendidikan rakyatnya. Negara tidak boleh diskriminatif terhadap sekolah swasta, karena bagaimanapun sekolah swasta membayar pajak sama seperti sekolah negeri. Negara yang berdaulat tentu tak memasrahkan pendidikan sebagai barang yang diperjualbelikan dan menjadi investasi asing untuk menanam modal. Negara berdaulat dalam pendidikan adalah negara yang merdeka dalam mengelola pendidikan, mulai dari kebijakan, kurikulum, sarana dan prasarana tanpa campur tangan dari investor asing. Investor asing hanya akan menggerogoti kedaulatan dan kemerdekaan dalam mengelola pendidikan. Disinilah peran politik pendidikan itu perlu dipancangkan kuat-kuat. 

Selain itu, Francis Wahono melontarkan kritik terkait dengan metodologi pendidikan dengan berpijak pada Ki Hadjar Dewantara dan Paulo Freire. Kedua tokoh tersebut memang menjadi ikon pendidikan yang memerdekakan. Untuk mencapai pendidikan yang memerdekakan Ki Hadjar Dewantara mengusulkan metode pamong dengan rumusannya’Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani’(di depan memberikan contoh, di tengah ikut membangun, di belakang berdaya guna mendorong kebaikan. Metode mendidik anak bagi Ki Hadjar Dewantoro mengedepankan keteladanan, untuk orang dewasa guru harus menjadi fasilitator dan bahkan bersama-sama memecahkan masalah, menjadi inspirasi dan berkolaborasi dan terus memberi dorongan. 

Substansi dari pendidikan yang memerdekakan, baik yang ditawarkan oleh Ki Hadjar Dewantara maupun Romo Mangun adalah pendidikan tanpa kekerasan yang dibahas secara khusus di dalam Bab II buku ini. Kekerasan yang dimaksud oleh Francis Wahono bukan hanya kekerasan yang kasatmata seperti yang kita lihat selama ini, melainkan juga kekerasan yang tersembunyi dibalik sistem ekonomi, sosial, politik, budaya, dan agama. Kekerasan tersebut dibalut dengan berbagai nama dan penjelasan-penjelasan yang mempesona dan meninabobokan. 

Francis Wahono memberikan konsep pendidikan Nir Kekerasan, kurikulum pendidikan tidak mendikte peserta didik, kurikulum diperlakukan sebagai rambu-rambu saja, selebihnya adalah sangat bergantung pada penjiwaan pendidik dan guru. Pada dasarnya, kurikulum dibuat dengan acuan kerangka dan pranata pendidikan seperti pada pendekatan top-down. Dengan begitu, pendidikan tidak terjebak pada kurikulum yang kaku dan guru yang otoriter karena peserta didik mempunyai kemerdekaan untuk mengkonstruksi pengalaman dan pengetahuan serta pengayaan nilai-nilai dalam dalam diri, lingkungan sosial budaya.

Pada bab selanjutnya buku ini mencoba menelusuri jejak sejarah pendidikan di Indonesia. Sebuah pandangan kritis yang melihat sejarah pendidikan bukan hanya sebagai perjalanan waktu dan tempat, tapi pandangan kritis terhadap lika-liku sejarah pendidikan di Indonesia. Sekolah Rakyat Pancasila menjadi bagian sejarah penting di dalamnya, karena bagaimanapun dengan hadirnya Sekolah Rakyat Pancasila akan melahirkan masyarakat yang bersifat nasional, demokratis, berperikemanusiaan dan berketuhanan, untuk mewujudkan keadilan sosial. Tujuan pendidikan dan pengajaran ialah membentuk manusia susila, yang cakap dan warga negara yang demokratis serta tanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat di tanah air. 

Akhirnya, membaca buku ini kita diajak untuk berpikir dan berjalan jalan pada kebun gagasan praktik-praktik pendidikan yang memerdekakan dan membebaskan. Meskipun tetap mengacu pada aspek historis dan konsep-konsep teoritis pendidikan zaman bahula, tetapi Dr. Francis Wahono mampu melakukan kontekstualisasi dengan kondisi pendidikan yang mengalami penjajahan baru sehingga pembaca tak hanya membaca sejarah (pendidikan) tapi juga disuguhi dengan ragam permasalahan pendidikan terkini, dimulai dari paradigma pendidikan yang salah kaprah, kurikulum tidak berpihak pada lingkungan, metode pendidikan yang hanya menciptakan para pekerja untuk perusahaan, hingga para pengelola pendidikan yang berpikir konsumtif untuk pendidikan. Francis Wahono mampu melakukan kritik sekaligus memberikan solusi untuk mengembalikan peran pendidikan yang memerdekakan dengan berpijak dan melakukan kajian refleksi dari para tokoh pendidikan kita serta menampilkan tokoh masa kini yang mencoba menghidupkan gagasan para pendahulu. Semoga buku ini bisa menjadi bahan refleksi bagi para pengambil kebijakan, bagi para aktivis pendidikan, pengelola pendidikan, serta seluruh insan pendidikan di Indonesia. PACE E BENE ! 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *