Agenda Politik Melaju Meski Virus Corona Belum Berlalu; Refleksi di Tahun Politik 2020

1.457 Views

Tinggal bagaimana kepiawaian mengelolanya lagi. Melalui Medsos, misalnya, kini individu, mulai dari ibu rumah tangga hingga pegawai profesional dan kelompok-kelompok tertentu terbuka sekali untuk menjadi corong bagi para kandidat dan Parpol peserta Pemilu. Atau sebaliknya, ada yang justru memberikan masukan maupun kritiknya. Dari sifatnya, ada konten yang sopan biasa-niasa saja hingga konten yang sarkastis. Ada yang membawa angin alias hoaks, juga kabar nyata di facebook, twitter, whatssap dan instagram.

Persaingan semakin meningkat. Untuk mencegah kompetisi yg kontraproduktif, lembaga penyelenggara Pemilu membuat agenda bincang politik Pilkasa dengan Ormas. KPU gandeng akademisi, pengamat politik Pilakda untuk “imbau” Ormas agar “netral” dari berpolitik praktis (bukan tak boleh berhak melek dan diskusi politik).

Penyelenggara Pilkada juga mengadakan pendidikan pemilih yang menyasar para pemilih pemula. Tentu saja, bincang politik paling gencar di dunia maya. Apakah ini berpotensi besar pengarugi kehidupan nyata? Kita tak perlu kawatir jika ini di daerah yang masyarakatnya sudah paham, santun dan bijak bermedsos dalam membincangkan politik. Di daerah sebaliknya? Anda tentu tahu jawabannya.

Membangun demokrasi berbasis teknologi digital di tengah Pandemi Covid-19 adalah tantangan. Tanpa dukungan infrastruktur IT, medsos, media digital dan media mainstream yang kuat dan efektif, popularitas figur kandidat, nama besar Parpol sekali pun tak akan mampu mendongkrak dukungan suara pemilih.

Di Pemilu 2020 kali ini, saya (mungkin juga Anda) tak percaya jika SEMUA massa pendukung, simpatisan termasuk tim Bersama kandidat yang berkompetisi–akan konsisten taat protokol kesehatan. Hal penting lain adalah tuntutan kecerdasan dan kecermatan dalam mengelola pengetahuan dan keterampilan berteknologi media. Terutama untuk menjangkau para pemilih muda (pemula) di daerah-daerah yang tersedia layanan teknologi digital, jaringan internet dan sinyal yang memadai. Dalam situasi kenormalan baru pula, massa mengambang tak bisa didekati secara langsung sehingga jaringan akar rumput bisa dimaksimalkan. Internet dan medsos lebih bisa diandalkan.

Kelompok yang berkompetisi mengajak massa mengambang menerima gagasan maupun janji-janji politik dikemas dalam flyer, meme, gambar dan video-video pendek yg menarik. Intinya para kandidat melalui Parpol pengusung, pendukung dan timnya berjuang merebut simpati dan dukungan rakyat secara jitu. Terkait hal ini, kita jangan panik jika nanti ada segelintir orang (entah simpatisan, maupun timses) yang mempolitisasi simbol-simbol identitas suku, agama, dan ras demi membedakan kelompok-kelompok yang berkompetisi sekaligus mempertegas dukungan kelompok terhadap kandidatnya.

Risikonya akan terjadi pengotak-ngotakan di masyarakat. Bila sudah begini, antusiasme warga yang tadinya menggeliat dalam diskursus politik direduksi serendah-rendahnya. Maka, kita perlu pendidikan politik kerakyatan atau politik kewargaan. Kelompok-kelompok demokratik: Parpol, media massa, kelompok masyarakat sipil perlu ambil peran dalam pendidikan politik dimaksud. Pendidikan yang mencerdaskan dan memartabatkan rakyat, tentunya. Kita bisa periksa, apakah peran ini sudah dijalankan dengan baik sejauh ini?

Tak dipungkiri, di era sekarang, pengetahuan dan kecerdasan rakyat tentang politik lebih banyak dipengaruhi media massa, medsos dan media digital. Padahal, mengharapkan interaksi dan dialog yang mendalam di dumay sangat-sangat sulit diwujudkan. Itu tantangan, pastinya. Pendidikan politik kerakyatan adalah hak sipil dan politik rakyat yang mesti dipenuhi secara sistematis dan bermartabat. Formal maupun nonformal. Nonformalnya, sekadar contoh, dengan sikap dan keteladanan anggota dewan perwakilan rakyat yang amanah, berintegritas, punya rasa simpati dan empati terhadap persoalan sosial kemasyarakatan umum, terlebih persoalan-persoalan di Dapil masing-masing.

Prestasi dan rekam jejak kandidat, didukung reputasi elite Parpol pengusung, bagaimana pun akan turut pengaruhi pilihan politik pemilih. Dengan melihat dinamika sosial politik di nasional dan daerah akhir-akhir ini, bagaimana kita memaknai pendidikan politik (bukan semata-mata politik pemilu, tentunya) yang mencerdaskan dan memartabatkan rakyat?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *