Nganjatn: Menajar Niat dan Ungkapan Syukur Dayak Laman Sepiri
Ritual Najar niat mulakng janji ka Karamat Kompas Tujuh Banuah Lapatn Selinukng Laman Dayak Sepiri di Masa Pandemi Covid-19
Penulis: Nenny & Manuk Kitow | Foto: Nenny | Editor: Antimus Lihan dan Giring
Laman Sepiri, Demit-Sandai, KR-Di televisi, di koran-koran, di internet dan media sosial, kita menyaksikan dan membaca tentang pengaruh dan dampak pandemi Covid-19 yang semakin meluas di seluruh dunia. Pengaruh bahaya wabah virus korona mengancam sendi-sendi kehidupan masyarakat di lebih dari 200 negara. Aspek kehidupan yang terdampak meliputi kesehatan, ekonomi, pendidikan, kegiatan keagamaan dan religi serta sosial budaya dan politik.
Pandemi Covid-19, juga mempengaruhi adaptasi Masyarakat Adat Dayak Laman Sepiri di pedalaman Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat dalam menunaikan ritual adat mereka. Betapa tidak, bila di tahun-tahun sebelum wabah Covid-19 melanda dunia, ritual Nganjatn atau najar niat mulakng janji ke keramat Kompas Tujuh Banuah Lapatn senantiasa dilaksanakan pada bulan Mei setiap tahunnya. Tatkala pandemi Covid-19 merebak, tahun 2020 ini ritual adat Nganjatn baru dapat dilaksanakan pada tanggal 25 Agutus 2020 yang lalu.
Ritual Nganjatn pada hakikatnya bagian dari sistem religi atau kepercayaan Masyarakat Adat Dayak Laman Sepiri. Dalam praktiknya, Masyarakat Adat Dayak Laman Sepiri menajarkan niat-niat dan janji-janji suci mereka ke keramat yang disebut Kompas Tujuh Banuah Lapatn. Praktik sitem religi atau kepercayaan tersebut sudah turun-temurun dan sampai sekarang masih dilaksanakan. Nganjatn menandai ciri dan bentuk spiritual agama asli yang diwariskan leluhur nenek moyang Masyarakat Adat Dayak Laman Sepiri.
Alasan mengapa ritual tersebut dilaksanakan di hutan keramat yang bernama Kompas Tujuh Banuah Lapatn adalah karena hutan keramat itu dipercaya sebagai selinukng laman atau pelindung kampung. Letaknya di Nate Banuah, seberang Laman Sepiri, Desa Demit, Kecamatan Sandai, atau di seberang Kampung Randau Jungkal (Kabupaten Ketapang).
Dari kampung Laman Sepiri ke lokasi hutan keramat, perjalanan menggunakan perahu motor, mudik menyusuri jalur Sungai Pawan dengan jarak tempuh lebih kurang 1 kilometer, dilanjutkan dengan berjalan kaki lebih kurang 1,5 kilometer.
Pak Banjing (73 tahun) selaku Mantir Dowata dan Pak Lihan (72 tahun) sebagai Pabayu atau Wakil Mantir Dowata mengatakan Masyarakat Adat Dayak Laman Sepiri percaya bahwa Dowata Sangiang (Tuhan) bersemayam di keramat Kompas Tujuh Benuah Lapatn tersebut.
Berkat Dowata Sangiang dapat mengabulkan permohonan untuk kesejukan, kedamaian, dan perlindungan dari segala marabahaya, perolehan rezeki, keselamatan jiwa dan kesehatan bagi seluruh warga baik yang masih menetap di Laman Sepiri maupun mereka yang telah tinggal di luar kampung.
Di Keramat Kompas Tujuh Banuah Lapatn tersebut tumbuh kokoh pohon-pohon besar yang bermanfaat bagi kehidupan dan keselamatan manusia, yakni 7 batang pohon kompas, dan 8 pohon banuah (shorea sp). Konon, menurut Pak Banjing, batang pohon kompas dan pohon banuah memiliki kisah yang unik.
“7 batang pohon kompas itu berasal dari sirih tujuh hilipm (7 gulung), sedangkan 8 batang pohon banuah berasal dari rokok lapatn pucuk (8 batang), pemberian seorang puteri khayangan kepada seorang pemuda bernama Bokor,” jelasnya.
Diiringi Irama Gondang Gamal, Syarat dan Pantangan
Ritual adat najar niat mulakng janji ke keramat Kompas Tujuh Banuah Lapatn diiringi irama musik tradisional dari tetabuhan gondang gamal yang disebut kanjatn, dan tarian adat dari sepasang perempuan dan sepasang laki-laki (4 orang). Dahulu kala, irama gondang gamal (musik kanjatn) hanya boleh diperdengarkan pada acara-acara istimewa tertentu saja, termasuk dalam ritual adat di keramat tersebut.
“Namun sekarang, ketentuan tersebut lebih longgar. Apabila telah disetujui Mantir Dowata dan setelah ia menabur boras kuning untuk meminta izin kepada Dowata Sangiang di keramat Selinukng, Laman, maka Gamal Kanjatn dapat juga dilakukan di acara-acara tertentu lainnya,” ujar Pak Lihan.
Seluruh warga Laman Sepiri, dan sejumlah warga yang berasal kampung lain, baik perempuan maupun laki-laki berpartisipasi dan ikut serta dalam ritual adat Ngajatn Najar Niat Mulakng Janji ke keramat tersebut. Peserta ritual yang berasal dari luar Laman Sepiri juga menyampaikan najar niat (minta rejeki/perlindungan), ada juga di antaranya yang membayar niat atas terkabulkannya permohonan sebelumnya.
Mereka yang membayar niat harus memenuhi syarat-syarat berupa tuak beniang, babi sikuk, ancak sebidanglengkap dengan isinya seperti sanggek ketupek lokat hitam jawa nyolik, panggang ayam serta telur masak (rebus). Kemudian, berlaku pula pantangan, di mana Mantir Dowata dan Pabayunya serta warga yang baniat/bapintaq wajib menjalankan puasa. Selama sehari penuh berlaku larangan makan nasi, makan garam dan makanan yang mengandung penyedap makanan maupun garam, kecuali hanya minum tuak.
Untuk menandai pelaksanaan ritual, Mantir Dowata manabur mehiakng (beras yang diberi warna dengan kunyit). Beras kuning adalah perantara, sebagai pemberitahuan kepada Dowata Sangiang (penguasa alam semesta). Sesaat kemudian, Mantir Laman (Domong Adat) pun menyengkolatn – menandai alat-alat musik gamal dengan darah babi dan ayam sebagai tanda nganjatn bisa dimulai sehingga alat-alat musik gamal dan gendang panjang sudah boleh ditabuh untuk mengiringi ritual.
Untuk memperkuat emosi suasana, Mantir Dowata basurak (bersorak) 7 kali, memanggil tariu supaya dapat menguruh kanjatn (menabuh gamelan). Tetabuhan bunyi musik kanjatn terus dimainkan, warga masyarakat pun mulai meramu: mencari dan mengambil buluh, daun pinang tua, daun kelapa muda, membuat sanggek, ketupek (ketupat), dan daun ensabang empanggil yang akan dibawa ke tempat keramat.
Menari dan Bekerja Sama
Setelah semua ramuan adat siap, Sutaragi (si pengatur acara menari dan pengedar kain penari) memulai tarian adat pertama. Penari terdiri dari 2 pasang (2 perempuan dan 2 laki laki), yang akan menari sebanyak 7 lobuh (7 putaran).
Penari laki-laki menggunakan cawat dengan menangkin mandau di pinggang dan seuntai tali yang terbuat dari bahan kulit kayu kapuak (dilleneia sp 2). Sedangkan penari perempuan memakai tapih atau rok (sejenis kemban) dengan atasan baju kebaya.