Budaya Damai Orang Dayak dan Tantangannya

5.477 Views

Giring (2004:112-115) menulis, kematian karena sengaja di bunuh atau terbunuh merupakan sebuah masalah yang kompleks; tak saja soal duka-cita, kerawanan/kegawatan, keresahan, tetapi juga dapat menimbulkan kemarahan, emosi pihak ahli waris dari korban yg mati. Itulah pentingnya adat pamabakng tadi.

Dalam adat pamabakng dan pati nyawa tadi, tercermin bahwa orang Dayak Kanayatn memiliki nilai penghargaan, penghormatan yg tinggi terhadap nyawa manusia. Sekaligus pula   pertanggungjawaban atas suatu tindakan pembunuhan. Hutang nyawa tak bisa ditebus dengan nyawa. Dalam kata-kata yang dalam, orang Dayak Kanayatn berpameo “utakng bate inak batalasah, utakng ulutn inak bakasudahatn’.

3. Budaya Hormat, Konformitas dan Tolong-menolong

Nilai dan sikap budaya hornat, konformitas terhadap sesamanya sangat mempengaruhi penerimaan terhadap orang lain. Nilai budaya hormat memiliki spirit solidaritas kemanusiaan. Sedangkan nilai budaya konformitas bersemangatkan toleransi. Pameo “jangankan manusia, anjing saja yang kesasar pun diberi makan” (Jai agik talino, kasu’ layo ja’ ni mangkat uman: Bhs. Dayak Bakatik). Pameo serupa tapi beda bahasa sangat hidup di dalam keseharian puak-puak Dayak di seluruh tanah Borneo. Terhadap sesama yang non-Dayak sekalipun.

Sampai sekarang, di saat gawai atau pesta padi Anda masih menemukannya. Ada tradisi “pemberian” berupa beras kampung, ketan, penganan khas, tuak, dst dari keluarga yang dikunjungi saat gawai kepada para tamu yang datang. Nilai dan sikap budaya hormat serta konformitas juga melandasi sifat saling menolong di kalangan orang Dayak. Kerjasama atau gotong royong hidup dalam keseharian interaksi di komunitasnya.

4. Menghindari Konflik  

Kisah asal-usul orang Dayak Kanayatn menunjukkan bahwa penyebaran nenek moyang mereka dari Binua Aya’ ke berbagai daerah di Kalbar didorong sikap untuk menghindari kayo /kayau dari kelompok lain (lihat Sood, 1999).

Sikap lebih memilih menghindari konflik fisik daripada terlibat masuk dalam konflik fisik. Mereka menunjukkan visinya tentang bagaimana memelihara hubungan baiknya dengan sesama di mana pun mereka berada. Lebih dari itu, juga mencerminkan pandangan mereka mengenai hakikat hidup dan perdamaian. Simon Takdir (1992) menuliskan bahwa orang Dayak lebih suka berkorban dan mengalah demi kebaikan bersama.

Keterancaman dan rasa takut untuk berkonflik fisik dibebaskan dengan cara memilih pindah dan/atau menghindari wilayah yang memiliki risiko tinggi konflik/sengketa. Ini bukan bentuk sikap penakut. Keutamaan relasi yang harmonis, damai dan saling memberi serta menerima saling tolong menjadi ciri khas kehidupan sosial budaya orang Dayak. Bahkan relasi harmoni dengan alam dan Tuhannya. 

Ritual adat Ngumpan Sandung melambangkan relasi harmoni manusia dengan alam atas, dunia kelana burung Enggang atau Kenyalang yang dalam cerita rakyat adalah saudara manusia Dayak Iban Sebaruk. Foto: DokPubID.

TANTANGAN

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi sekarang begitu cepat. Saking cepatnya, kita seakan tak mampu lagi bergerak cepat menyesuaikan diri. Pengaruh “budaya instant” dan gaya hidup modern yang konsumtif, hedonis sulit dibendung.

Berbagai lapisan masyarakat Dayak di daerah-daerah yang ada akses jaringan internet, mulai dari anak-remaja-orangtua tak luput dari sebaran informasi. Banyak yang sudah memiliki HP berbasis android. 

Mereka rentan terpapar hoaks, ujaran kebencian dan konten medsos yang mengecam suku, agama, ras n antar-golongan intoleran. Jelas, hal tersebut mengancam keharmonisan masyarakat. Bisa merusak relasi sosial yang sudah terbentuk dengan baik.

Di dalam konteks ini, budaya damai berbasis adat dan tradisi  menghadapi tantangan yang serius. Proses dan tahapan-tahapan yang harus melalui dialog, musyawarah, pertimbangan dan persiapan matang tentu memerlukan waktu dan kehadiran.

Tantangan lain ialah tak banyak lagi kaum muda dan anak-anak Dayak yang punya ketertarikan dengan adat-istiadatnya dan kebudayaannya. Meskipun “budaya instan” sekarang ini semakin mendominasi, jalan keluar dari konflik untuk tujuan perdamaian mesti dipegang teguh.

Orang-orang tua Dayak, para pegiat kebudayaan yang berpengetahuan, berpengalaman dalam kebudayaan lokal dan berkebijaksanaan, wajib mewariskannya kepada generasi muda dan anak-anak di tiap kampung di mana pun mereka berada.

Mewariskan nilai-nilai budaya damai secara bermartabat dan berkelanjutan kepada generasi muda merupakan upaya yang mendesak di era informasi ini.  

Medsos pun bisa dimaksimalkan. Kerjasama dengan para pihak (lintas sektor dan lintas kelompok) yang bertujuan baik yang sama untuk kehidupan bermasyarakat, berbangsa bernegara yang harmonis, toleran saling mendukung juga sangat diperlukan di era sekarang dan ke depannya. 

Untuk mendukung pewarisan dan transformasi budaya Dayak tersebut dan agar tak sekedar wacana, maka penggalian dan riset terkait di lapangan tak bisa tidak harus dilakukan. Semoga. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *