Tahun 2014, Tahun Pembelajaran


R. GIRING & KRISS GUNUI’
Korban Konflik SDA
Penembakan Warga Adat Dayak MeratusBanjarmasin—Konflik tanah kembali menelan korban jiwa. 21 Oktober 2014, Inus (35) warga Dayak Meratus tewas, dan 3 orang lainnya luka-luka tertembak aparat Kepolisian Tanah Bumbu, Kalsel yang bertugas membekengi PT. Kodeco Timber dan PT. Jolin Bratama. Sebelumnya, kasus pelanggaran hak-hak Masyarakat Adat Dayak Meratus, Kalsel, terkait beroperasinya PT. Kodeco Timber telah dipilih sebagai 1 dari 6 kasus pelanggaran HAM Masyarakat Adat di 5 provinsi di Kalimantan yang digelar dalam Dengar Keterangan Umum pada sidang tim komisioner Inkuiri Nasional yang diselenggarakan di Pontianak oleh KOMNAS HAM RI bersama dukungan beberapa NGO, yang berlangsung dari tanggal 30 September s/d 1-3 Oktober 2014.
Desakan
Sabtu, malam Minggu (26/10/2014), sejumlah tokoh adat Dayak, di Desa Malinau, Kec. Loksado, Hulu Sungai Selatan mengadakan pertemuan dan menuntut agar Kepolisian Daerah Kalsel menuntaskan kasus penembakan warga Dayak Meratus.
Menurut Ketua Pengurus Wilayah AMAN Kalsel Yasir Al Fatah, di Banjarmasin, desakan untuk mengusut tuntas kasus penembakan itu disampaikan para tokoh adat Dayak dalam pertemuan di Desa Malinau, Kecamatan Loksado, Hulu Sungai Selatan. Desakan dilakukan, meskipun aparat kepolisian Tanah Bumbu telah membayar adat kematian. Agar peristiwa serupa tidak terulang kembali, apalagi sampai berakibat pada hilangnya nyawa seseorang, maka seharusnya akar-akar persoalan dari kasus ini harus segera diselesaikan dengan tuntas. Para pihak terkait hanya tinggal melaksanakan rekomendasi Inkuiri Nasional hak-hak Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan Kalimantan.
“Kejutan”,
Ratusan Tambang di Kawasan Terlarang Hutan Lindung Kalimantan
Balikpapan—Ratusan perusahaan tambang beroperasi di dalam kawasan konservasi atau hutan lindung, kawasan yang seharusnya terlarang untuk aktivitas tambang. Pemerintah daerah didesak mencabut izin perusahaan tambang itu. “Temuan ini bisa ditindaklanjuti pemerintah di daerah. Tidak bisa melakukan penambangan di kawasan konservasi. Seharusnya pemerintah daerah bisa mencabut (izin),” kata Dirjen Minerba ESDM R Sukhyar, Kamis (27/11/2014).
Data pelanggaran lokasi tambang itu mencuat dalam Koordinasi dan Supervisi bidang Mineral Batubara Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) dan Direktorat Minerba Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Sejumlah NGO di bidang lingkungan yang ikut dalam kegiatan ini, mengungkap temuan pelanggaran kegiatan pertambangan gara-gara carut- marut tata kelola izin tambang di Kalimantan. Dalam selebaran bertajuk “Borneo Menggugat” dari lembaga- lembaga itu tercantum 124 pemegang izin yang beroperasi di kawasan konservasi Kalimantan. “Pemerintah daerah bisa menindaklanjuti temuan ini,” tegas Sukhyar. Dari koordinasi ini, didapati pula 13 pemegang izin non- kehutanan yang ternyata beraktivitas di kawasan hutan lindung Kalimantan Barat. Di Kalimantan Timur, ada 62 pemegang izin yang juga beroperasi di kawasan konservasi. Salah satu temuan pelanggaran tercatat lebih 40 pemegang izin tambang beraktivitas di dalam kawasan Tahura. Di Kalimantan Tengah terdapat 19 pemegang izin dan di Kalimantan Selatan sekitar 30 pemegang izin.
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati.
Kalaupun ada pertambangan, kegiatan yang diizinkan di kawasan hutan di kawasan lindung hanya diperbolehkan dalam bentuk pertambangan bawah tanah. Pada kenyataannya, tidak satu pun pemegang izin melakukan penambangan bawah tanah. Koordinasi ini merupakan upaya pemerintah memperkuat pengawasan dan penegakan hukum di daerah. Kegiatan tersebut digelar di 12 provinsi sejak awal 2014. Tujuan kegiatan itu adalah memastikan komitmen kepala daerah untuk menertibkan dan menata kelola izin mineral dan batubara di daerahnya. Sejumlah 44% ijin pertambahan (IUP) dan kuasa pertambangan (KP) di Kalimantan ditengarai bermasalah secara administrasi. Banyak kelompok masyarakat telah menuntut pencabutan izin bermasalah tersebut. [Kompas.com, 27/11/2014; pkl: 23:34 WIB].
.