Kisah Putung Kempat
(Bagian 1)
Alkisah, di atas Gunung Kujau yang hijau dan sejuk di daerah Kalimantan Barat, hiduplah sepasang suami-istri dengan keenam anaknya. Sang suami bernama Sabung Mengulur, sedang istrinya bernama Pukat Mengawang. Keenam anaknya yaitu berturut-turut dari yang sulung ke yang paling bungsu adalah Belang Pinggang, Suluh Duik, Buku Labuk, Terentang Temanai, Putung Kempat, dan Bui Nasi. Dari keenam bersaudara tersebut, hanya Putung Kempat yang perempuan. Sebenarnya, Sabung Mengulur dan istrinya mempunyai seorang lagi anak laki-laki yang bernama Puyung Gana, namun anak itu meninggal ketika masih kecil. Sabung Mengulur dan istrinya bercocok tanam di ladang.
Suatu ketika, Sabung Mengulur mendapat firasat buruk bahwa hidupnya di dunia todak akan lebih lama lagi. Ia hanya berpesan kepada anak-anaknya agar membuka lahan baru untuk bercocok tanam. “Wahai, anak-anakku! Sebaiknya kalian membuat ladang baru agar kalian bisa hidup,” pesan Sabung Mengulur.
Hari sudah menjelang sore, namun Sabung Mengulur belum juga keluar dari kepok. Ketika keenam anaknya menengok ke dalam kepok itu ternyata sang ayah menghilang entah ke mana, mereka hanya menemukan beraneka ragam bibit tanaman. Barulah saat itu istri dan keenam anaknya menyadari bahwa pesan ayahnya itu tidak main-main.
Kini, keenam bersaudara itu telah menjadi yatim. Mereka harus bekerja untuk menghidupi diri mereka. Akhirnya, mereka pun melaksanakan pesan sang ayah dengan membuka ladang di hutan. Mereka bergotong-royong dan bergiliran mengolah, menanami dan menjaga ladang mereka. Ketika giliran Bui Nasi menjaga ladang, tiba-tiba ia diserang oleh sesosok makhluk raksasa. Rupanya, raksasa itu adalah penjelmaan roh saudaranya, Puyung Gana, yang merasa berhak atas tanah itu. Bui Nasi tidak mengetahui hal itu, sehingga terjadilah perkelahian sengit antara kedua orang bersaudara itu. Perkelahian itu berlangsung hingga pagi, namun tak satu pun yang dapat dinyatakan kalah atau menang. Akhirnya keduanya berdamai setelah mengetahui bahwa mereka adalah bersaudara. Mereka bersepakat untuk mengolah lahan itu secara bersama-sama. Bahkan, raksasa itu bersedia mengajari Bui Nasi tentang cara bercocok tanam. “Dengarlah, Dik! Jika kamu hendak mengolah lahan dengan baik, perhatikanlah gugusan bintang di langit! Bintang tiga menandakan waktu baik untuk mulai mengejarkan ladang. Bintang lima menandakan musim baik untuk menebang kayu, sedang bintang empat menandakan padi dan tanaman akan diserang oleh babi hutan atau hama,” ujar Puyung Gana.
Bui Nasi memperhatikan ajaran Puyung Gana dengan sungguh-sungguh, kemudian menyampaikannya kepada kelima suadaranya yang lain. Akhirnya keenam bersaudara itu mengolah ladang mereka berdasarkan ajaran Payung Gana, sehingga mendapat hasil panen yang melimpah. Untuk menyambut keberhasilan tersebut, mereka mengadakan pesta panen selama tujuh hari tujuh malam. Mereka mandi-mandi di sungai atau yang biasa disebut mandi simburan dengan penuh kegembiraan. Pada acara mandi simburan tersebut, mereka harus saling memercikkan air antara satu dengan yang lain agar terhindar dari penyakit. Namun, mereka lupa memercikkan air kepada Putung Kempat, sehingga Putung Kempat ditimpa penyakit kusta. Seluruh tubuhnya dipenuhi oleh bercak putih kemerahan seperti panu dan di tepinya terdapat penebalan seperti kurap. Kelima saudara Putung Kempat menjadi panik karena takut tertular penyakit kusta yang sulit untuk disembuhkan itu.