MASYARAKAT ADAT DI UJUNG TANDUK


Usulan AMAN Terkait RUU versi Balegnas
Menyikapi draf versi Balegnas, Abdon Nababan selaku Sekjen, PB AMAN pusat berpendapat bahwa, RUU versi Balegnas masih sangat jauh dari harapan MA secara keseluruhan. Sedangkan mengenai istilah masyarakat hukum adat yang menjadi perdebatan dan perjuangan MA, Abdon menilai, ini hanya akan mereduksi eksistensi MA menjadi terbatas pada masyarakat hukum saja. Untuk itu, AMAN sendiri secara khusus dikatakan Abdon juga sudah menjelaskan pokok-pokok pikirannya kepada pihak fraksi di DPR RI, yakni fraksi PDIP, pada Selasa (5/2) lalu. AMAN mengusulkan istilah “Masyarakat Adat” karena dipandang lebih mewakili realitas MA yang tidak dapat diteropong semata-mata dari kaca mata adanya “praktik hukum” pada MA itu sendiri, tetapi juga menggambarkan kepercayaan (sistem religi), budaya, sistem ekonomi, politik dan sebagainya yang secara sebagian, maupun keseluruhan, membentuk identitas kolektifnya sebagai MA. Istilah ini juga lebih mampu mengakomodasi hak MA yang diamanatkan oleh UUD 1945, Masyarakat Hukum Adat di Ps. 18B ayat (2) dan Masyarakat Tradisional di Ps. 28 I ayat (3). AMAN beralasan, penggunaan istilah Masyarakat Adat lebih memiliki preseden dalam hukum kita sebut saja misal; UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil juga menggunakan istilah Masyarakat Adat serta UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional.

Salah satu prosesi barumpe (pelantikan ) Boretn pada subsuku dayak Semanakng di Kab.Ketapang. Kearifan local masyarakat adat seprti ini sudahberlangsung lama.
Doc.yogipusa
Tentang pengakuan bersyarat, versi Balegnas melanggengkan tentang adanya pengakuan bersyarat seperti huruf a. Padahal pengakuan tersebut lebih bersifat diskriminatif. Sementara itu, AMAN mengusulkan agar persyaratan Masyarakat Adat (sepanjang masih hidup, dan sebagainya itu) sebagaimana telah diatur pada bagian menimbang huruf a dalam draft Balegnas dihapus.
Terkait judul dan terminologi “RUU Tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat (RUU PPMHA)” versi Balegnas, Abdon menjelaskan, dari judul tersebut tentu saja tidak menjawab keresahan yang terjadi dimasyarakat tentang adanya bahaya penyempitan makna dengan menggunakan istilah masyarakat hukum adat. “Padahal kita tahu kenyataan di lapangan bahwa MA itu bukan hanya masyarakat hukum, tapi juga masyarakat politik karena memiliki pranata politik dalam pengambilan keputusan kolektif yang masih berlaku. MA juga merupakan unit sosial ekonomi yang berbasis pada tanah dan sumber daya alam di wilayah adatnya. MA juga masyarakat yang diikat dalam satu identitas budaya,” ujar Abdon, Rabu (6/2) lalu.

Seorang dukun sedang ngantirok (baca doa) memohon kepadaTuhan. Ini merupakan tradisi masyarakat adat yang perlu dilestarikan.
doc. Yogi Pusa
Lebih lanjut, menurutnya usulan MA supaya dibentuk Komisi Nasional (Komnas), Komisi Daerah (Komda) dan hak mengatur, mengurus diri sendiri yang terkait hukum dan kelembagaan adat hilang di meja Balegnas. Padahal poin itu sangat penting, dan draf itu sudah diusulkan oleh MA. “Usulan MA agar lewat UU ini dibentuk Komisi Nasional Masyarakat Adat dan Komisi-Komisi Daerah Masyarakat Adat yang perannya sangat penting dalam penyelesaian sengketa antara MA dengan pihak lain juga hilang dari RUU versi Balegnas DPR RI. Ini mengesankan bahwa tanggungjawab dan wewenang pemerintah, melalui UU versi Balegnas ini, tidak berpihak kepada MA. Hak mengatur dan mengurus diri sendiri berdasarkan hukum dan kelembagaan adat juga menghilang dari RUU versi Baleg ini,” tegas Abdon.
Dalam drafnya itu juga, Balegnas bahkan tidak memasukkan dua asas pokok, yaitu asas Bhineka Tunggal Ika dan asas NonDiskriminasi sebagai gabungan dari asas Kesetaraan. Hal ini justru bertentangan dengan Pancasila UU Dasar 1945. Menyangkut identifikasi, verifikasi dan penetapan MA juga terkesan kurang. AMAN mengusulkan agar identifikasi tersebut dilakukan oleh MA itu sendiri, karena mereka yang paling memahami tentang kondisi mereka sendiri dibanding orang lain. Sementara versi Balegnas, dalam mengidentifikasi terkesan sangat sentralistik dan dimonopoli oleh Negara. Balegnas juga tidak mengatur tentang kelembagaan yang bersifat khusus dan independen seperti diusulkan AMAN pada akhir 2011 lalu yakni, adanya Komisi Nasional Masyarakat Adat (Komnas MA), dan Komisi Daerah Masyarakat Adat (Komda MA).
AMAN tetap mengusulkan agar keduanya tetap ada. Selain itu, yang juga absen dari Balegnas adalah hak untuk mengurus diri sendiri. AMAN menilai hal ini penting karena merupakan bagian kecakapan MA itu sendiri. Sebab Masyarakat Adat, secara turun temurun juga sudah mengurus dirinya sendiri.
Untuk menindaklanjuti hal tersebut, AMAN, menurut Abdon akan melakukan upaya-upaya nyata dan berusaha untuk memasukkan kembali gagasan-gagasan tersebut. Caranya, yakni melalui konsultasi-konsultasi baik di daerah, maupun tingkat nasional terutama pihak legislatif. Semoga.
YOGI PUSA