KAJIAN EMPIRIS MENDALAMI TANTANGAN KEBUDAYAAN BUMI SEBALO

1.817 Views

Penulis: Yeremias | Foto: DokPub ID | Editor: R. Giring & Kriss Gunui

Bengkayang—Hari Rabu (4/3/2020), bertempat di Aula Kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (DISDIKBUD) Kabupaten Bengkayang, Workshop Riset Kebudayaan Daerah Kabupaten Bengkayang dilaksanakan. Lebih dari 20-an orang utusan tokoh adat dan pegiat budaya dari beberapa etnis se-Kabupaten Bengkayang, Kepala Dinas dan jajarannya serta Tim Peneliti Institut Dayakologi.

Kegiatan tersebut merupakan tindaklanjut kerjasama antar-lembaga setelah sebelumnya pada 25 Februari 2020 lalu, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Bengkayang bersama Institut Dayakologi menandatangani Perjanjian Kerjasama Revitalisasi Budaya di Bumi Sebalo.

Riset untuk Raperda Pemajuan Kebudayaan

Dalam sambutannya, Gustian Andiwinata, S.Pd., M.M, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Plt) Kabupaten Bengkayang manyampaikan bahwa riset kebudayaan untuk penyusunan Naskah Akademik Raperda Pemajuan Kebudayaan sangat penting dilakukan sebagai langkah empiris dan teoretis untuk mendukung payung hukum penyelamatan kebudayaan di Kabupaten Bengkayang.

“Terlebih karena program pemajuan kebudayaan juga merupakan salah satu agenda pemerintah pusat. Saya harap dalam workshop ini, secara bersama-sama kita dapat memberikan masukan maupun ide-ide kepada tim peneliti agar Bumi Sebalo ini mampu mengembangkan potensi-potensi kebudayaan yang ada, seperti merevitaslisasi adat dan budaya yang sudah hampir hilang atau punah,” tutur Gustian yang dilanjutkan dengan pembukaan secara resmi workshop tersebut.

Bukan hanya Seni dan Hiburan

Krissusandi Gunui’, Direktur Eksekutif Institut Dayakologi dalam kesempatan yang sama mengatakan bahwa melakukan riset dalam rangka menyusun Naskah Akademik Raperda Pemajuan Kebudayaan Kabupaten Bengkayang merupakan salah satu kontribusi Institut Dayakologi untuk upaya revitalisasi budaya di Kab. Bengkayang ini.

Ia pun berpesan agar ke depannya semua pihak tidak memahami kebudayaan secara eksklusif yakni hanya sekadar memandang budaya sebagai seni, hiburan, kreasi, pariwisata dan sejarah semata. “Ke depannya kita harap semua pihak, baik masyarakat maupun pemerintah dapat memahami kebudayaan bukan hanya dari aspek seni, kreasi, hiburan, pariwisata dan sejarah semata, melainkan tentang keseluruhan aspek kehidupan sebagai hasil interaksi Manusia Dayak dengan alam, sesama, serta Sang Pencipta yang kemudian menentukan nilai-nilai dan identitas, eksistensi serta martabat seluruh Kaum Suku Bangsa Dayak. Pada akhirnya kebudayaanlah yang menjadi penentu serta ukuran utama martabat atau jati diri serta harga diri suatu bangsa sekaligus masa depannya,” paparnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *